mediapesan.com – Lambatnya penanganan kasus dugaan perampasan anak yang ditangani Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Makassar menuai kritik dari berbagai pihak.
Kasus yang melibatkan seorang ibu bernama Tanti sebagai korban telah dilaporkan sejak Maret 2024, namun hingga kini belum menunjukkan perkembangan signifikan.
Pengamat sosial Jupri menyoroti lambannya proses hukum dalam kasus ini, yang menurutnya mencerminkan lemahnya perlindungan hukum bagi anak di Indonesia.
Ia menegaskan bahwa alasan libur Lebaran tidak bisa dijadikan dalih untuk menunda proses hukum yang menyangkut keselamatan anak.
Kasus ini melibatkan anak sebagai korban yang sangat rentan. Seharusnya ada langkah cepat dan tegas dari aparat kepolisian, ujar Jupri saat ditemui di sebuah warung kopi di Jalan Veteran, Makassar, pada 15 Maret 2025.
Ia juga mengingatkan bahwa penundaan ini dapat menimbulkan keresahan sosial dan memperburuk sentimen di masyarakat.
Proses Hukum yang Berlarut-larut
Kasus ini bermula dari dugaan perampasan anak yang terjadi pada November 2020 di Kecamatan Tamalate, Makassar, dengan terlapor Ferry Rusdianto.
Laporan polisi telah dibuat dengan nomor LP/410/III/2024/POLDA SULSEL/RESTABES MKS tertanggal 3 Maret 2024.
Polrestabes Makassar juga telah mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) bernomor SPDP/284/VI/RES.1.24/2024/Reskrim tertanggal 26 Juni 2024 atas dugaan pelanggaran Pasal 330 ayat (1) KUHP terkait penculikan anak di bawah umur.
Namun, hingga kini, proses hukum masih berlarut-larut.
Tanti, dalam pernyataannya pada 15 Maret 2025, mengungkapkan kekecewaannya terhadap lambannya penanganan kasusnya.
Ia menyebut bahwa ia kembali dipanggil pada 5 Maret 2025 untuk memberikan keterangan tambahan dan menyerahkan dokumen baru, dengan alasan bahwa SPDP yang dikirim ke kejaksaan harus diperbarui.
Saya merasa ada kejanggalan dalam proses ini. Kasus sudah berjalan satu tahun, tapi penetapan tersangka masih tertunda. Saya hanya ingin anak saya kembali, bukan menghadapi gugatan perdata yang diajukan oleh pihak terlapor, keluh Tanti.
Jupri menilai bahwa langkah kepolisian yang menunggu putusan gugatan perdata sebelum menindaklanjuti kasus pidana adalah sebuah kekeliruan.
Menurutnya, kasus perampasan anak jelas masuk ranah pidana dan seharusnya tidak bergantung pada proses perdata.
Ini kasus pidana, bukan sekadar sengketa hak asuh. Aparat harus memahami perbedaan mendasar antara hukum pidana dan perdata. Jangan sampai ada kesan bahwa ada permainan dalam proses hukum ini, tegas Jupri.
Dugaan Pelanggaran Etika Aparat
Selain lambannya proses hukum, terdapat dugaan pelanggaran etika dalam penanganan kasus ini.
Jupri menyebut bahwa ada pertanyaan-pertanyaan tidak relevan yang diajukan kepada pelapor, serta minimnya langkah konkret dari Unit PPA untuk segera mengamankan anak yang menjadi korban.
Seharusnya, sejak laporan masuk dan unsur pidananya jelas, anak tersebut segera diamankan demi keselamatannya, tambah Jupri.
Kasus ini juga semakin mendapat sorotan setelah muncul dugaan adanya upaya suap yang dilakukan oleh terlapor untuk memperlambat proses hukum.
Meski belum ada bukti konkret yang menguatkan dugaan ini, hal tersebut semakin memperburuk kepercayaan publik terhadap kinerja Unit PPA Polrestabes Makassar.
Penegak hukum harus bertindak transparan dan profesional. Jika ada indikasi permainan dalam kasus ini, harus diusut tuntas. Jangan sampai kasus ini menjadi preseden buruk bagi perlindungan anak di Indonesia, tegas Jupri.
Kasus ini kini menjadi ujian bagi aparat kepolisian dalam menegakkan keadilan bagi korban, sekaligus membuktikan bahwa hukum berlaku adil bagi semua pihak tanpa diskriminasi.
Masyarakat pun menunggu langkah konkret dari pihak berwenang dalam menyelesaikan kasus ini secara profesional dan transparan.