MEDIAPESAN, Sulsel – Luka akibat banjir bandang dan longsor yang mengguncang Pegunungan Latimojong pada Mei 2024 lalu masih terasa mendalam.
Tiga belas nyawa melayang, ribuan warga kehilangan tempat tinggal, dan lahan pertanian hancur dalam salah satu bencana paling mematikan di Sulawesi Selatan dalam satu dekade terakhir.
Kini, saat musim penghujan kembali mendekat, kecemasan menyelimuti masyarakat sekitar Latimojong.
Bukan semata karena hujan deras, tetapi karena krisis ekologis yang tak kunjung ditangani.
Kelompok lingkungan menyebut bahwa rusaknya tutupan hutan dan maraknya aktivitas industri ekstraktif telah membuat wilayah ini sangat rentan.
Tingkat tutupan hutan di DAS Latimojong kini di bawah 30 persen. Itu jauh di bawah batas aman, kata Slamet Riadi, Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulawesi Selatan, kepada mediapesan.com.
Ia menyoroti aktivitas penambangan emas dan galian pasir (galian C) sebagai penyebab utama degradasi lingkungan.
Perhatian juga tertuju pada PT Masmindo Dwi Area, pemegang konsesi tambang emas di kawasan tersebut.
Jenis tanah yang mendominasi—andosol dan latosol—semakin memperburuk kerentanan.
Tanah ini mudah tererosi saat musim hujan, membuat bencana seperti longsor lebih mungkin terjadi.
- Iklan Google -
Rencana pengembangan tambang emas berskala besar oleh PT Masmindo bersama perusahaan tambang raksasa asal AS, Freeport-McMoRan, memicu kekhawatiran tambahan.
Metode yang akan digunakan adalah tambang terbuka (open pit)—yang disebut berpotensi meninggalkan kerusakan permanen pada lanskap Latimojong.
Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman, telah menyuarakan penolakannya.
Dalam pernyataannya pada 14 April 2025 lalu, ia menyebut rencana tersebut berisiko besar merusak lingkungan.
Jika tambang dikelola dengan metode open pit oleh perusahaan asing, risikonya sangat besar. Kita tidak ingin Luwu menjadi Timika kedua, tegasnya.
Andi juga menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya oleh pelaku lokal.
Ini menyangkut masa depan generasi. Jangan sampai kita kehilangan hutan, tanah, dan air—namun rakyat tetap miskin, ujarnya.
Namun, kewenangan pemberian izin berada di tangan Kementerian ESDM.
Menurut Ewi Dwi Siswati dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), koordinasi masih dimungkinkan antara pemerintah pusat dan dinas lingkungan hidup provinsi.
Sementara itu, Sufriadi Arif, Wakil Ketua DPRD Sulsel, menyebut proses perizinan PT Masmindo telah selesai.
Yang tersisa hanya pembebasan lahan, dan sebagian besar sudah diselesaikan, ujarnya pada 26 Juni.
Ia juga menyebut bahwa dalam dua kali RDP dengan pihak perusahaan, tak ditemukan pelanggaran dokumen AMDAL.
Namun, DPRD disebut tetap akan melanjutkan pengawasan.
Meski proses administratif diklaim telah terpenuhi, masyarakat setempat belum merasa aman.
Organisasi masyarakat sipil menuntut revisi tata ruang dan evaluasi ulang seluruh izin tambang yang telah dikeluarkan.
Bencana Mei 2024 seharusnya jadi peringatan keras. Jika tata ruang dan izin tambang tidak dikendalikan, Latimojong akan terus menangis—dan rakyat yang akan menanggung akibatnya, ujar seorang peneliti lingkungan yang tergabung dalam tim kajian WALHI.
Hingga berita ini diterbitkan, PT Masmindo Dwi Area belum memberikan keterangan resmi.
Upaya konfirmasi oleh mediapesan.com melalui berbagai saluran komunikasi belum mendapatkan tanggapan.