Surabaya | Mediapesan – Sudah lebih dari enam bulan berlalu, kasus kecelakaan yang merenggut nyawa Aprian Dwikoranto di depan Masjid Al Akbar Surabaya masih jalan di tempat.
Proses hukum yang tak kunjung rampung ini memantik tanda tanya besar, baik dari keluarga korban maupun kalangan pengamat hukum, tentang transparansi dan profesionalisme aparat kepolisian.
Kastini, S.Pd., istri almarhum, masih mengingat jelas peristiwa tragis itu.
Pada Februari 2025, suaminya ditabrak dari belakang saat memarkir kendaraan. Aprian tewas di lokasi kejadian.
Namun hingga kini, tak ada kejelasan dari penyidik mengenai kelanjutan perkara.
Kami merasa terombang-ambing tanpa kepastian hukum, ujar Kastini.
Sorotan Pengamat Hukum
Pengamat kepolisian sekaligus ahli hukum, Dr. Didi Sungkono, S.H., M.H., menilai penanganan perkara ini janggal.
Menurut dia, secara normatif Pasal 5 KUHAP dan Pasal 1 angka 4 KUHAP jelas mewajibkan penyidik segera mengolah tempat kejadian perkara (TKP). Apalagi, korban meninggal di lokasi.
Perkara ini sudah sangat terang dan pelaku juga ada. Seharusnya tidak lama sudah dilimpahkan ke persidangan untuk memperoleh kekuatan hukum, kata Didi, Jumat, 12 September 2025.
- Iklan Google -
Ia merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Pasal 4 serta Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) sebagai pijakan hukum yang kuat. Namun, Didi menilai penyidik justru terkesan pasif.
Informasi perkembangan kasus tak pernah dibuka ke publik, padahal kewajiban itu diatur dalam Perkap maupun UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
Diversi Tanpa Hasil
Di tengah ketidakjelasan itu, keluarga korban sempat menerima undangan diversi lantaran pelaku masih berusia 18 tahun. Tapi, pertemuan itu berakhir tanpa solusi.
Menurut Kastini, orang tua pelaku seolah enggan mengakui kesalahan. Akibatnya, tak ada kesepakatan untuk menempuh jalan Restorative Justice.
Didi menilai kebuntuan ini bisa berdampak serius.
Berlarut-larutnya kasus dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap kepolisian. Anggapan miring seperti ‘kasih uang habis perkara’ atau ‘kurang uang harus penjara’ akan semakin kuat, ujarnya.
Barang Bukti yang Tertahan
Tak hanya proses hukum yang mandek, barang bukti berupa sepeda motor milik korban juga hingga kini masih tertahan di Unit Laka Lantas Polrestabes Surabaya.
Menurut Didi, kondisi itu menunjukkan lemahnya perlindungan hak masyarakat dalam proses hukum.
Hukum seakan tumpul, bagaikan kapak: tajam ke bawah, tumpul ke atas, katanya menyindir.
Ia berharap pimpinan kepolisian, khususnya Kepala Satuan Lalu Lintas Polrestabes Surabaya, segera mengambil tindakan tegas agar publik tidak kehilangan harapan terhadap keadilan.
Menunggu Ketegasan Polisi
Kini, keluarga korban bersama publik menanti keseriusan pihak berwenang untuk menuntaskan kasus ini.
Lebih dari sekadar keadilan bagi almarhum Aprian, penyelesaian perkara ini juga menjadi ujian bagi Polri dalam menjaga citranya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat—bukan lembaga yang terkesan mendiamkan ketidakadilan.