Makassar | Mediapesan – Siang muram menyelimuti sebuah rumah di Jl. Bontoduri 6, Kecamatan Tamalate, Makassar, Senin (22/9). NMB, siswi kelas VIII SMP Negeri 29 Makassar, lebih banyak menunduk dan diam.
Senyumnya, kata keluarga, hilang sejak Kamis pekan lalu ketika ia diduga menjadi korban kekerasan fisik oleh guru matematikanya.
Bukan hanya sakit di paha yang ia rasakan akibat pukulan, tapi juga trauma karena peristiwa itu terjadi di depan teman-temannya.
Anaknya tidak banyak bicara sejak kejadian. Kalau ditanya soal sekolah, langsung menangis, ujar ibu korban.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Makassar, drg. Ita Anwar, datang langsung menemui korban.
Ia menilai kondisi siswi itu menunjukkan trauma berat.
Kami akan fasilitasi pemeriksaan psikolog. Korban harus mendapat konseling klinis, konseling tumbuh kembang, dan konseling keluarga, kata Ita.
DP3A sebelumnya juga menginstruksikan Shelter Warga Bontoduri untuk mendampingi keluarga korban serta bekerja sama dengan Home Care memantau kondisi kesehatannya.
- Iklan Google -
Namun, suasana rumah korban sempat mengejutkan ketika guru matematika yang diduga pelaku datang bersama suami dan wali kelas.
Di hadapan keluarga dan pejabat DP3A, guru itu mengaku memukul siswinya.
Alasannya: kesal melihat NMB dan temannya mondar-mandir sambil bertukar pisang ketika pembagian makanan gratis.
Alasan yang terdengar sepele itu kini berujung pada trauma mendalam seorang anak.
Dinas Pendidikan Kota Makassar memilih langkah ringan. Kepala Disdik, Achi Soleman, hanya menjatuhkan teguran langsung.
Tidak boleh ada kekerasan di sekolah, katanya melalui pesan singkat kepada wartawan.
Sikap itu menuai kritik. Pemerhati sosial, Jupri, menyebut sanksi teguran terlalu lunak.
Guru sudah mengaku memukul siswanya. Kalau hanya diberi teguran, ini sama saja melegalkan kekerasan di sekolah. Harus ada sanksi tegas, baik hukum maupun administratif, ujarnya.
Menurut Jupri, kasus ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan Kekerasan di Satuan Pendidikan.
Kasus SMPN 29 Makassar ini memperlihatkan kontras: DP3A bergerak cepat memulihkan korban, sementara Disdik berhenti pada teguran.
Bagi keluarga, sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman justru berubah menjadi ruang luka.
Pertanyaan pun menggantung: apakah teguran cukup untuk mencegah kekerasan di sekolah? Atau justru membuka celah bagi kejadian serupa berulang?