Tope Le’leng: Sarung Hitam, Saksi Sunyi Orang Kajang

Reporter Burung Hantu
Sarung hitam khas Kajang—dikenal sebagai Tope Le’leng—tak sekadar kain, tapi simbol hidup, adat, dan keyakinan masyarakat Bulukumba. (mediapesan/luk)

Makassar | MediapesanDi Bulukumba, Sulawesi Selatan, ada satu tarian yang namanya sederhana, namun sarat makna: Tope Le’leng.

Dalam bahasa setempat, tope berarti sarung, sementara le’leng berarti hitam.

Jika digabung, ia merujuk pada “sarung hitam”busana khas yang tak pernah lepas dari kehidupan orang Kajang.

Screenshot 20251002 084426 Gallery scaled
Seorang penenun Kajang merangkai benang demi benang, melahirkan sarung hitam Tope Le’leng yang sarat makna hidup dan adat. (mediapesan/luk)

Sarung, bagi masyarakat Kajang, bukan sekadar kain penutup tubuh.

- Iklan Google -
Mediapesan.com terdaftar di LPSE dan E-Katalog Klik gambar untuk melihat Katalog kami.

Ia adalah perihal penting yang menyertai hidup sejak lahir hingga mati.

Screenshot 20251002 084020 YouTube scaled

Seorang warga Kajang mengkilapkan motif pada kain, merawat tradisi sarung hitam Tope Le’leng yang diwariskan leluhur. (mediapesan/luk)
Seorang warga Kajang mengkilapkan motif pada kain, merawat tradisi sarung hitam Tope Le’leng yang diwariskan leluhur. (mediapesan/luk)

Sarung hadir dalam hujan, dalam adat, dalam penghormatan, dalam petuah-petuah leluhur.

Jasa Pembuatan Website Berita
Jasa Website Jogja

Sarung adalah saksi paling setia, yang diam namun khusyuk, yang membungkus pengalaman manusia dengan segala keterbatasannya.

Tarian Tope Le’leng lahir dari kesadaran itu: bahwa kehidupan orang Kajang tak bisa dipisahkan dari sarung.

Screenshot 20251002 090619 YouTube scaled
(indonesiatari/ho/mediapesan)

Dalam setiap gerakan, terselip penghormatan pada tu rie a’ra’Na, Tuhan yang Maha Kuasa.

- Iklan Google -

Sarung bukan sekadar simbol identitas, tetapi pengikat spiritual yang menegaskan siapa mereka dan bagaimana mereka menjaga warisan leluhur.

Bagi orang Kajang, hidup bersama sarung, mati pun bersama sarung.

Ia bukan sekadar pakaian, melainkan bagian dari diri—penanda keterikatan, sekaligus pengingat akan kefanaan.

“Semoga kita senantiasa tak berteduh tuk melupakan sarung,” begitu kira-kira pesan yang mereka wariskan.

Baca Juga:  Progres Jalan Tol Palembang-Betung Capai 67,4 Persen, Dukung Arus Mudik 2025

Sebab melupakan sarung sama saja dengan melupakan jejak kemanusiaan itu sendiri.

(luk)

Bagikan Berita Ini
Tinggalkan Ulasan

Tinggalkan Ulasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *