Makassar | Mediapesan – Di Bulukumba, Sulawesi Selatan, ada satu tarian yang namanya sederhana, namun sarat makna: Tope Le’leng.
Dalam bahasa setempat, tope berarti sarung, sementara le’leng berarti hitam.
Jika digabung, ia merujuk pada “sarung hitam”—busana khas yang tak pernah lepas dari kehidupan orang Kajang.

Sarung, bagi masyarakat Kajang, bukan sekadar kain penutup tubuh.
Ia adalah perihal penting yang menyertai hidup sejak lahir hingga mati.

Sarung hadir dalam hujan, dalam adat, dalam penghormatan, dalam petuah-petuah leluhur.
Sarung adalah saksi paling setia, yang diam namun khusyuk, yang membungkus pengalaman manusia dengan segala keterbatasannya.
Tarian Tope Le’leng lahir dari kesadaran itu: bahwa kehidupan orang Kajang tak bisa dipisahkan dari sarung.

Dalam setiap gerakan, terselip penghormatan pada tu rie a’ra’Na, Tuhan yang Maha Kuasa.
- Iklan Google -
Sarung bukan sekadar simbol identitas, tetapi pengikat spiritual yang menegaskan siapa mereka dan bagaimana mereka menjaga warisan leluhur.
Bagi orang Kajang, hidup bersama sarung, mati pun bersama sarung.
Ia bukan sekadar pakaian, melainkan bagian dari diri—penanda keterikatan, sekaligus pengingat akan kefanaan.
“Semoga kita senantiasa tak berteduh tuk melupakan sarung,” begitu kira-kira pesan yang mereka wariskan.
Sebab melupakan sarung sama saja dengan melupakan jejak kemanusiaan itu sendiri.