Potret Keluarga Pendatang di Surabaya (1924–1932): Ketika Kota Tumbuh, Mereka Bertahan di Pinggirannya

Reporter Burung Hantu
Antara kota dan kehidupan pendatang: Potret keluarga pendatang di Surabaya (1924–1932). (wereldmuseum.nl/ho/mp)

MediapesanSurabaya pada dekade 1920-an bukan hanya pusat perdagangan penting di Hindia Belanda, tetapi juga ruang yang terus “mengambil bentuk” dari arus migrasi.

Di tengah perkembangan perkotaan dan ekspansi bangunan kolonial, ada lapisan sejarah lain yang jarang terdokumentasikan: kehidupan pendatang yang bertahan di sela-sela kota yang berubah terlalu cepat untuk mereka ikuti.

Sebuah foto yang kini tersimpan di wereldmuseum.nl merekam momen itu.

- Iklan Google -
Mediapesan.com terdaftar di LPSE dan E-Katalog Klik gambar untuk melihat Katalog kami.

Menampilkan sebuah keluarga pendatang yang tinggal di gubuk sementara di pinggiran sebuah gedung, potret tersebut memperlihatkan kontras yang begitu tajam antara modernitas kota kolonial dan kerentanan sosial kelompok di pinggirnya.

Foto ini diperkirakan dijepret antara 1924–1932 oleh fotografer Helios, salah satu fotografer analitik pada masa itu yang dikenal mengabadikan kehidupan urban dan ruang sosial Hindia Belanda.

Menggunakan kamera analog dengan proses cetak perak gelatin, gambar tersebut memiliki karakteristik khas fotografi dokumenter awal abad ke-20: detail tinggi, kontras tajam, dan kesan “sehari-hari” yang tidak dibuat-buat.

Jasa Pembuatan Website Berita
Jasa Website Jogja

Kota yang Berkembang, Ruang Hidup yang Menyusut

Masa 1920-an adalah periode ketika Surabaya mengalami modernisasi pesat—pembangunan gedung pemerintahan, perluasan pelabuhan, hingga penertiban kawasan pusat kota.

Namun modernisasi juga menciptakan kelompok yang terpinggirkan.

Para pendatang, banyak di antaranya dari wilayah pedalaman Jawa maupun luar pulau, harus beradaptasi dengan kondisi serba terbatas: pekerjaan tidak tetap, ruang tinggal seadanya, dan relasi sosial yang belum stabil.

- Iklan Google -

Gubuk yang terlihat dalam foto—dibangun dari sisa papan—merupakan bentuk umum hunian darurat pada masa itu.

Baca Juga:  Pengabdian Masyarakat Internasional: UMI Edukasi Proses Produksi Halal di Shah Alam

Mereka yang menempatinya biasanya belum memiliki akses ke rumah kontrakan maupun kampung resmi, sehingga memilih tinggal di sudut-sudut lahan kosong dekat gedung atau proyek pembangunan.

Dokumentasi Sosial yang Langka

Karya Helios memperlihatkan sisi lain Surabaya yang jarang muncul dalam arsip resmi kolonial.

Foto-foto semacam ini bukan sekadar visual; ia menjadi catatan penting tentang bagaimana kota dibangun, sering kali dengan mengorbankan ruang hidup golongan paling rentan.

Dalam potret keluarga tersebut—dengan anak kecil dan orang dewasa yang sedang duduk di gubuk di antara bayang-bayang gedung besar—kita melihat bukan hanya kemiskinan, tetapi juga ketegangan antara harapan dan kenyataan migrasi urban pada masa awal abad ke-20.

Membaca Ulang Foto sebagai Memori Kolektif

Kini, hampir seabad kemudian, foto tersebut mengingatkan kita bahwa proses urbanisasi selalu menyisakan cerita yang tidak tercatat dalam dokumen pemerintah atau narasi resmi: kisah orang-orang yang menempati ruang tersisa demi bertahan hidup.

Potret keluarga pendatang di Surabaya itu adalah fragmen kecil dari sejarah besar kota—sebuah pengingat bahwa modernitas tidak pernah tumbuh tanpa bayangan keterpinggiran.

(*/red)

Bagikan Berita Ini
Tinggalkan Ulasan

Tinggalkan Ulasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *