Mediapesan | Makassar – Nama Puang Karaeng Dea Daeng Lita tercatat sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah pemerintahan tradisional Kajang di Bulukumba.
Gelarnya, “De Regent van Kadjang VI” yang tercatat menjabat pada 1865–1880, menunjukkan posisinya sebagai pemimpin yang berperan dalam relasi kekuasaan antara pemerintahan lokal dan administrasi kolonial.
Ia juga dikenal dengan gelar “Gadjang ri Tappi’na Bone”, menandai kedudukannya dalam struktur adat dan genealoginya yang berakar kuat di wilayah Sulawesi Selatan.
Karaeng Dea Daeng Lita lahir pada 1820 dan wafat pada 1889. Bersama istrinya, Puang Karaeng Rabia Daeng Bongdeng—yang juga dikenal sebagai Ibaraiya Petta Sanna—keduanya membangun garis keturunan besar yang masih diingat hingga hari ini. Pasangan ini memiliki sembilan anak:
1. Karaeng Tappo Dg. Ma’bodo
2. Karaeng Tjidu Dg. Matarang
3. Karaeng Tongteng Dg. Matarrang
4. Karaeng Baronggeng Dg. Mattanga
5. Karaeng Guli Dg. Mangence’
6. Karaeng Dalimang
- Iklan Google -
7. Karaeng Botte Dg. Palasa
8. Karaeng Kaheng
9. Karaeng Pahinru
Keturunan inilah yang kemudian menjadi bagian dari jaringan keluarga bangsawan lokal yang terhubung dengan struktur adat Kajang maupun wilayah-wilayah sekitarnya.

Makam di Tana Jaya: Struktur Megalitik dan Warisan Arsitektur Lokal
Makam Karaeng Dea Daeng Lita berada di Jalan Karaeng Dea Dg. Lita, Kampung Lingkungan Jalayya, Kelurahan/Desa Tana Jaya, Kecamatan Kajang, Bulukumba.
Lokasinya berada dalam kawasan perkampungan yang masih mempertahankan identitas adat, termasuk penghormatan pada tokoh-tokoh leluhur.
Secara arsitektural, makam ini menunjukkan karakter yang kuat sebagai situs budaya dengan ciri megalitik.

Bagian depannya berbentuk benteng berundak dengan 10 lapisan batu bersusun, sebuah teknik konstruksi tradisional yang lazim digunakan untuk tempat pemakaman para bangsawan atau pemimpin adat.
Di sekelilingnya terdapat sejumlah makam lain berbahan batu padas, mengindikasikan kompleks pemakaman keluarga atau lingkungan elite.
Orientasi makam mengarah Utara–Selatan, mengikuti pakem kosmologi lokal.
Ragam hias pada makam memperlihatkan pengaruh estetika Bugis-Makassar: motif sulur-suluran, tulisan kaligrafi Arab, serta aksara lontara.
Nisan-nisannya berbentuk gada, phallus, dan menhir, dengan salah satu nisan utama mencapai 190 cm dari dasar makam—suatu penanda pentingnya status sosial almarhum.
Jejak yang Masih Hidup
Hingga hari ini, masyarakat Kajang dan Bulukumba masih mengenang Karaeng Dea Daeng Lita bukan hanya sebagai pemimpin administratif pada masanya, tetapi juga sebagai leluhur besar yang garis keturunannya tersebar luas di Sulawesi Selatan.
Makamnya menjadi titik rujukan sejarah, tempat ziarah, sekaligus penanda bahwa warisan struktur sosial kerajaan-kerajaan lokal masih melekat dalam kehidupan masyarakat.
Jika dibaca dari konteks yang lebih luas, situs ini juga penting bagi penelitian antropologi, sejarah arsitektur megalitik, serta genealoginya yang terkait dengan perkembangan kekuasaan lokal di masa kolonial.



