Jeratan Elitisme Anggaran: Reformasi Polri Gagal Jika Komisi Takut Disorot!

Reporter Burung Hantu
Penulis (kanan berjas hitam) telah memberikan rekomendasi ke Komisi Percepatan Reformasi Polri.

Penulis: Heintje Mandagie, Ketum DPP Serikat Pers Republik Indonesia

 

Reformasi Polrisebuah janji besar yang sudah lama ditunggu publik—kini berada di persimpangan jalan.

- Iklan Google -
Mediapesan.com terdaftar di LPSE dan E-Katalog Klik gambar untuk melihat Katalog kami.

Bukan karena perlawanan dari internal Polri, tetapi akibat ketakutan politik Komisi Percepatan Reformasi Polri.

Di tengah krisis kepercayaan publik dan derasnya kritik, Komisi terlihat ragu mengajukan rekomendasi penambahan anggaran operasional bagi Polri.

Padahal, Komisi yang dipimpin Jimly Asshiddiqie itu menjadi saksi langsung berbagai keluhan, pengakuan, dan pembongkaran kebobrokan institusional.

Jasa Pembuatan Website Berita
Jasa Website Jogja

Dari aktivis HAM, LBH, ormas, hingga insan pers, semua seolah menjadikan forum audiensi sebagai tempat menumpahkan unek-unek mengenai perilaku oknum polisi dari level rendah hingga perwira tinggi.

Namun, di balik kritik tajam itu, ada pertanyaan penting yang sering luput: mengapa institusi sepenting Polri begitu rentan terhadap kebobrokan?

Kita Menyorot Gejalanya, Tapi Melupakan Akar Masalah

Pelanggaran HAM, arogansi kekuasaan, korupsi, pungli—kritik terhadap Polri valid dan harus ditindaklanjuti.

- Iklan Google -

Tetapi fokus yang terlalu mengarah pada oknum mengaburkan persoalan mendasar: negara absen dalam memperkuat institusi Polri secara struktural.

Narasi besar yang terlupakan adalah keterabaian negara terhadap institusi yang memikul fungsi keamanan publik ini.

Baca Juga:  Pelantikan Pejabat Baru di Kapal Phinisi Pemkot Makassar, Walikota: Evaluasi per Tiga Bulan

Kemiskinan Struktural: Masalah yang Jarang Dibahas

Satu fakta keras yang jarang dibuka ke publik: banyak aparat kepolisian, terutama di tingkat Polsek, hidup dalam kemiskinan struktural.

Anggota Polri dibebani tugas berisiko dan tuntutan moral tinggi, tetapi menerima fasilitas dan kesejahteraan yang tidak sebanding.

Keterbatasan anggaran operasional mendorong mereka mencari “pendanaan alternatif”. Di sinilah celah pungli muncul.

Bahkan, untuk hal-hal sederhana seperti BBM patroli, alat tulis, maupun biaya penyelidikan, anggota Polsek sering terpaksa mencari dana swadaya atau “sumbangan” dari pihak berkepentingan.

Situasi ini menciptakan lingkaran setan antara kebutuhan operasional dan potensi penyimpangan.

Defisit Struktural: Polsek Tidak Mampu Bertugas

Indonesia menghadapi defisit besar dalam rasio jumlah polisi: hanya 166 petugas per 100.000 penduduk (1:602)—jauh di bawah standar minimal PBB (1:400).

Rendahnya jumlah personel diperparah oleh minimnya anggaran operasional Polsek sebagai pintu gerbang pelayanan negara.

Pengakuan mantan Kapolri Badrodin Haiti mempertegas krisis ini:

ada Polsek yang hanya menerima Rp200 juta per tahun—cukup untuk empat bulan operasional.

Sisanya?

Sering ditutup dengan pungli, pemerasan, atau skema “alternatif” lain yang pada akhirnya merusak citra institusi.

Anggaran Minim = Pungli Jadi Survival Kit

Kekurangan anggaran tidak sekadar masalah administrasi, tetapi pemicu utama perilaku menyimpang.

Ketika dana habis, personel di lapangan menghadapi dilema etika:

menggunakan uang pribadi atau mencari “jalan lain” demi menjalankan tugas.

Akibatnya, laporan masyarakat—terutama Tipiring—sering diabaikan atau dipungut biaya tambahan.

Masyarakat akhirnya enggan melapor, melahirkan dark figure kriminalitas yang makin besar.

Kasus viral baru-baru ini memperlihatkan absurditas sistem:

seorang penghuni kos di Benhil yang mengalami pelecehan seksual justru diabaikan Polsek, hingga ia terpaksa melapor ke petugas Damkar. Petugas Damkar yang turun tangan malah menuai apresiasi publik.

Baca Juga:  Kapolda Sulsel Terima Kunjungan Komnas HAM Bahas Tindak Lanjut Rekomendasi

Reformasi yang Gagal Menyentuh Inti: Anggaran

Reformasi Polri sejak 1998 memang menyentuh aspek struktural, regulasi, dan SDM.

Tetapi reformasi anggaran dan kesejahteraan berjalan lambat, bahkan seakan sengaja diabaikan.

Negara menuntut integritas, tetapi membiarkan institusi vital ini bergulat dengan kemiskinan anggaran.

Aparat yang tertekan secara ekonomi adalah target empuk untuk terjerumus dalam praktik menyimpang.

Rekomendasi Tegas: Anggaran Bersyarat adalah Kewajiban Negara

Dalam audiensi bersama Forum Masyarakat Indonesia Emas, Badrodin Haiti mengakui adanya Polsek yang hanya mampu bertahan empat bulan dari anggaran tahunan.

Ia membenarkan bahwa kekurangan anggaran sering ditutup melalui pungli.

Karena itu, Komisi wajib mengubah perspektifnya.

Menahan anggaran operasional Polsek bukan hanya keliru, tetapi menghukum masyarakat dan melanggengkan pungli.

Komisi harus mengajukan Paket Reformasi Anggaran Terintegrasi, bukan sekadar usulan tambahan dana.

Alokasi anggaran harus menjadi mandat negara, bukan hadiah, dengan syarat:

  • Pelayanan Tipiring harus gratis
  • Respons kepolisian wajib cepat dan transparan
  • Anggaran digunakan sampai tingkat Polsek dan Bhabinkamtibmas

Bangun Polisi Berintegritas, Mulai Dengan Keberpihakan Negara

Komisi tidak cukup hanya mendengar kritik terhadap oknum.

Negara harus ikut bertanggung jawab terhadap lemahnya sistem pendukung institusi Polri.

Polisi berintegritas hanya dapat dibentuk melalui:

  • Gaji layak
  • Anggaran operasional mencukupi
  • Pengawasan ketat
  • Pembiayaan publik yang berkeadilan

Tanpa itu, Polri akan terus menjadi sasaran kritik tanpa henti, sementara akar masalah tetap subur.

Komisi yang Nyaman di Ruang Ber-AC, Enggan Menyentuh Akar Persoalan

Ironis, Komisi yang dibentuk negara untuk mempercepat reformasi justru tampak nyaman menerima masukan dari kelompok elit di Jakarta.

Pendekatan yang elitis ini menciptakan jarak dengan realitas lapangan.

Baca Juga:  KPRP Gelar Audiensi dengan Komunitas Pers, Bahas Reformasi Polri dan Perlindungan Jurnalis

Tanpa turun ke Polsek terujung, Komisi hanya mendapat gambaran permukaan—bersumber dari mereka yang “punya suara”.

Komisi gagal merasakan:

  • Minimnya anggaran operasional
  • Beratnya beban Bhabinkamtibmas
  • Tekanan psikologis dan ekonomi aparat lapangan

Akibatnya, rekomendasi yang disusun rawan tidak menyentuh inti persoalan.

Pungli SIM/STNK: Barter Nyawa dengan Uang

Pungli dalam layanan SIM/STNK sudah menjadi praktik yang membahayakan keselamatan publik.

Ketika “jasa kilat” meloloskan pengendara yang tak kompeten, konsekuensinya tampak jelas:

3–4 orang tewas setiap jam akibat kecelakaan lalu lintas sepanjang 2024.

Total kecelakaan 1,15 juta, dengan korban jiwa sekitar 27.000 orang.

Ini bukan sekadar pungli—ini kejahatan kemanusiaan.

Pemerasan dalam Penanganan Narkoba

Dalam kasus narkoba, hukuman berat dan denda miliaran rupiah sering menjadi alat pemerasan oleh oknum.

Padahal BNN mencatat 18 ribu kematian per tahun akibat narkoba, didominasi usia 14–25 tahun.

Ketika hukum diperjualbelikan, negara kehilangan wibawa.

Saatnya Komisi Berani Memutus Siklus

Reformasi sejati hanya terjadi jika negara berinvestasi besar pada pelayanan publik kepolisian yang cepat dan bebas biaya.

Komisi harus melampaui ketakutan politis dan lebih berpihak kepada rakyat.

Jika tidak, kritik generasi muda kelak akan menjadi kenyataan:

“Ini mindset elite yang nggak nyambung sama realita. Mereka takut kena cibiran netizen daripada benerin masalah di lapangan. Kalau Komisi terus takut sama omongan orang Jakarta, Reformasi Polri itu cuma sandiwara.”

Reformasi yang ditakuti, jelas bukan reformasi.

Dan Komisi yang takut disorot, bukanlah Komisi yang siap membawa perubahan. (*)

Bagikan Berita Ini
Tinggalkan Ulasan

Tinggalkan Ulasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *