Halal sebagai Jembatan ke Masa Depan: Membentuk Ekonomi Hijau dengan Nilai Halalan Thayyiban

Reporter Burung Hantu

Oleh: Muhammad Nusran, (Direktur HIDI-Indonesia – Penggiat Halal Sulawesi)

 

Bayangkan sebuah sistem pangan di mana makanan yang kita konsumsi tidak hanya terjamin kehalalannya, tetapi juga diproduksi dengan menghormati bumi dan martabat manusia. Gambaran ini bukan utopia. Ia justru menjadi kebutuhan mendesak di tengah dunia yang tengah bergulat dengan krisis berlapis: ketidakstabilan pangan, krisis energi, dan perubahan iklim yang semakin ekstrem. Dampaknya nyata—harga kebutuhan pokok melambung, rantai pasok mudah terganggu, dan tekanan ekonomi semakin dirasakan masyarakat luas (Pusat Penelitian Ekonomi dan Masyarakat, 2024).

- Iklan Google -
Mediapesan.com terdaftar di LPSE dan E-Katalog Klik gambar untuk melihat Katalog kami.

Dalam situasi ini, industri halal berada di persimpangan jalan. Ia bisa tetap dipersempit sebagai sekadar label administratif—atau melangkah lebih jauh menjadi kekuatan transformatif yang menjawab tantangan zaman. Sayangnya, praktik yang dominan hari ini masih menempatkan halal sebagai urusan legal-formal semata. Padahal, jika halal hanya berhenti pada status “boleh dikonsumsi”, ia kehilangan ruhnya sebagai nilai etik yang menyentuh keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan kemaslahatan bersama (Dr. Ahmad, Lembaga Penelitian Halal Nasional, 2023).

Ketika Krisis Global Menuntut Peran Halal

Data global memperlihatkan urgensi perubahan arah tersebut. Harga pangan dunia berada di level tertinggi dalam satu dekade terakhir, energi fosil masih menopang sekitar 80 persen sistem energi global, sementara bencana iklim telah merusak lebih dari 20 persen panen di negara berkembang (FAO, 2024). Konsekuensinya jelas: biaya produksi meningkat dan risiko pasokan membesar.

Dalam konteks ini, industri halal tidak bisa lagi bersikap netral terhadap isu lingkungan. Ketika proses produksi menyumbang emisi, limbah, dan eksploitasi sumber daya, maka kehalalan produk menjadi parsial. Halal yang terlepas dari keberlanjutan justru berpotensi bertentangan dengan tujuan menjaga kehidupan—baik manusia maupun alam.

Baca Juga:  Kejati Jatim Perkuat Peran Intelijen untuk Dukung Iklim Investasi Kondusif
Jasa Pembuatan Website Berita
Jasa Website Jogja

Sertifikat Halal dan Paradoks Keberlanjutan

Ironisnya, banyak produk berlabel halal masih jauh dari prinsip thayyib. Sertifikat memang ada, tetapi praktik di lapangan sering kali menyisakan persoalan: kemasan sekali pakai yang menumpuk, konsumsi energi yang boros, hingga rantai pasok yang sulit ditelusuri. Istilah “ramah lingkungan” pun kerap digunakan sebagai jargon pemasaran tanpa bukti nyata—fenomena yang dikenal sebagai greenwashing (Komisi Perlindungan Konsumen, 2023).

Di titik ini, halal berisiko menjadi upaya setengah jalan. Tanpa integrasi keberlanjutan, ia hanya menjadi simbol identitas—bukan solusi.

Akar masalahnya terletak pada cara pandang yang terlalu sempit. Halal masih diperlakukan sebagai aturan teknis, bukan sebagai etika peradaban. Padahal, UMKM—yang menjadi tulang punggung industri halal nasional—sering kali hanya dibebani kewajiban sertifikasi tanpa didukung transisi menuju produksi yang efisien energi, pengelolaan limbah yang baik, atau kemasan sirkular (Asosiasi UMKM Halal Indonesia, 2024).

- Iklan Google -

Instrumen pembiayaan hijau berbasis syariah seperti sukuk hijau memang telah tersedia. Namun, aksesnya masih terbatas bagi pelaku usaha kecil (Bank Indonesia, 2024). Akibatnya, kita sibuk membesarkan “pasar halal”, tetapi abai membangun ekosistem halal yang amanah dan berkelanjutan.

Risiko Jika Halal Tak Berubah

Jika kondisi ini terus dibiarkan, risikonya bukan hanya ekologis, tetapi juga ekonomis dan moral. Harga akan terus membebani rakyat, kerusakan lingkungan kian tak terkendali, dan industri halal kehilangan daya saing di pasar global yang kini menuntut bukti kinerja ESG (Environmental, Social, Governance), bukan sekadar klaim (WTO, 2024).

Lebih dari itu, kepercayaan publik bisa runtuh. Halal akan dipersepsi hanya sebagai stiker di kemasan—kehilangan maknanya sebagai rahmat bagi semesta.

Baca Juga:  Sudirman Said: Hanya ada Satu Organisasi Kepalangmerahan di Satu Negara

Karena itu, diperlukan keberanian kolektif untuk menaikkan standar: menggeser paradigma menuju halal–thayyib–sustainable. Artinya, produksi yang bersih dan hemat energi, pengelolaan air serta limbah yang bertanggung jawab, dan pengurangan plastik sekali pakai. Halal juga harus berpihak pada manusia—melindungi keselamatan dan martabat pekerja, mendampingi UMKM agar naik kelas, serta membangun kolaborasi komunitas untuk menekan biaya produksi bersama (Dr. Siti, Institut Studi Keberlanjutan Syariah, 2023).

Tak kalah penting adalah tata kelola yang transparan: rantai pasok yang dapat ditelusuri dan audit yang jujur, sehingga kehalalan bukan sekadar klaim, melainkan amanah.

Langkah ini bukan mimpi kosong. Negara dapat menjadikan halal sebagai motor ekonomi hijau, bukan hanya program sertifikasi, melalui insentif fiskal dan dukungan teknis (Kementerian Perdagangan, 2024). Pelaku industri dan UMKM bisa memulai dari langkah-langkah sederhana—menghemat listrik, memilih kemasan daur ulang, dan mengelola limbah dengan lebih baik. Masjid, pesantren, dan komunitas pun dapat menjadi simpul perubahan: membangun masjid hijau, mendampingi UMKM jamaah, serta membiasakan konsumsi yang bertanggung jawab.

Halal sebagai Etika Peradaban

Semua ini sejatinya sejalan dengan pesan Al-Qur’an. Perintah untuk mengonsumsi yang halal dan thayyib (QS. Al-Baqarah: 168) serta larangan berlebih-lebihan atau israf (QS. Al-A’raf: 31) bukan hanya tuntunan konsumsi personal, melainkan prinsip peradaban produksi. Jangan rakus energi, jangan rakus kemasan, dan jangan rakus limbah (Kajian Tafsir Al-Qur’an dan Keberlanjutan, 2023).

Pada akhirnya, halal bukan sekadar kepatuhan hukum. Ia adalah jembatan menuju masa depan—tempat nilai spiritual bertemu dengan keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis. Jika dikelola dengan visi yang utuh, halal dapat menjadi fondasi ekonomi hijau yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga menenteramkan.

Baca Juga:  Perdagangan Karbon Indonesia Sentuh Rp77,91 Triliun, BEI Siapkan Ekspansi Global

Allahu muwaffiq – Wallahu A’laam.

Bagikan Berita Ini
Tinggalkan Ulasan

Tinggalkan Ulasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *