Oleh: Muhammad Nusran, (PP AMKI Bidang Pengembangan Saintek, Pengurus ICMI/DDII Sulsel)
Banjir yang melanda berbagai wilayah di Sumatera bukan sekadar peristiwa alam yang menimbulkan kerugian material dan penderitaan sosial. Di balik genangan air dan luka yang ditinggalkan, bencana ini juga menghadirkan cermin nilai-nilai kemanusiaan yang tumbuh dari iman dan kekuatan spiritualitas. Di tengah keterbatasan dan situasi darurat, para relawan hadir bukan hanya sebagai tenaga bantuan, melainkan sebagai representasi etika kemanusiaan yang inklusif dan melampaui sekat-sekat identitas.
Keterlibatan relawan dalam penanggulangan dan pemulihan pascabencana tidak semata digerakkan oleh rasa tanggung jawab sosial, tetapi juga oleh keyakinan iman yang mendorong kepedulian tanpa pamrih. Dalam konteks ini, iman dan spiritualitas menjadi fondasi penting bagi kerja-kerja kemanusiaan yang berorientasi inklusif—di mana setiap individu, tanpa memandang suku, agama, atau status sosial, diperlakukan setara sebagai sesama manusia yang membutuhkan pertolongan.
Nilai ini sejalan dengan pesan universal agama, sebagaimana tergambar dalam hadis Nabi Muhammad SAW: “Perumpamaan orang-orang beriman dalam saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi adalah seperti satu tubuh; apabila satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh ikut merasakan sakit.” Pesan tersebut menegaskan bahwa penderitaan satu pihak adalah tanggung jawab bersama.
Iman sebagai Sumber Etika Inklusivitas
Pengalaman relawan banjir di Sumatera menunjukkan bahwa iman tidak berhenti pada dimensi personal dan ritual, melainkan memiliki implikasi sosial yang kuat. Keyakinan akan keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap martabat manusia mendorong relawan untuk bekerja secara inklusif, terbuka, dan kolaboratif.
Dalam praktiknya, distribusi bantuan dilakukan berdasarkan kebutuhan, bukan identitas. Relawan tidak bertanya tentang latar belakang agama atau etnis korban, melainkan fokus pada siapa yang paling membutuhkan pertolongan. Di sinilah iman menemukan maknanya yang paling konkret—sebagai energi moral yang menumbuhkan empati dan mengikis prasangka.
Kerja-kerja kemanusiaan semacam ini memberi pelajaran penting bahwa iman, jika dipahami secara substansial, justru menjadi jembatan sosial yang memperkuat kohesi masyarakat di tengah keberagaman.
- Iklan Google -
Spiritualitas dan Ketangguhan Relawan
Kerja relawan di wilayah bencana kerap berlangsung dalam kondisi yang tidak ideal: kelelahan fisik, keterbatasan logistik, tekanan emosional, hingga risiko keselamatan. Dalam situasi demikian, kekuatan spiritualitas memainkan peran krusial dalam menjaga daya tahan mental dan emosional relawan.
Praktik spiritual seperti doa, refleksi diri, dan kesadaran akan makna pengabdian memberi relawan ketenangan batin sekaligus keteguhan untuk terus melayani. Beberapa lembaga kemanusiaan, seperti Wahdah Peduli, bahkan secara sadar memasukkan dimensi spiritual dalam pelatihan kebencanaan. Tujuannya bukan untuk menyeragamkan keyakinan, melainkan membangun ketahanan psikologis dan etika pelayanan yang berakar pada nilai-nilai luhur.
Relawan yang kuat secara spiritual cenderung lebih sabar, empatik, dan mampu bekerja dalam tim lintas latar belakang—sebuah kualitas yang sangat dibutuhkan dalam situasi darurat.
Implementasi Iman dalam Kerja Kemanusiaan
Implementasi iman dalam kerja relawan tampak dalam praktik kerja sama lintas organisasi dan lintas iman, penghormatan terhadap keyakinan korban, serta penciptaan ruang aman bagi semua pihak. Iman tidak hadir sebagai simbol eksklusivitas, melainkan sebagai nilai yang mendorong solidaritas dan saling pengertian.
Relawan berupaya memahami kebiasaan, kepercayaan, dan kebutuhan korban agar bantuan yang diberikan tidak hanya tepat guna, tetapi juga bermartabat. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa kerja kemanusiaan yang berlandaskan iman justru memperkuat prinsip inklusivitas dan keadilan sosial.
Spiritualitas dan Pemulihan Trauma
Bencana tidak hanya merusak rumah dan infrastruktur, tetapi juga meninggalkan luka psikologis yang mendalam. Dalam konteks ini, peran relawan tidak berhenti pada bantuan material. Pendampingan emosional dan trauma healing menjadi bagian penting dari proses pemulihan.
Kekuatan spiritualitas membantu korban menemukan harapan dan makna di tengah kehilangan. Inisiatif seperti pendirian posko trauma healing oleh PT Semen Padang di Pesisir Selatan menunjukkan bahwa dukungan spiritual—melalui konseling, doa, dan aktivitas penguatan mental—dapat membantu korban bangkit dan menata kembali kehidupannya. Spiritualitas, dengan demikian, menjadi sumber daya pemulihan yang melengkapi bantuan fisik dan sosial.
Investasi Nilai bagi Generasi Muda
Kiprah relawan banjir Sumatera juga menyimpan makna jangka panjang, terutama bagi generasi muda. Keteladanan relawan yang bekerja dengan landasan iman dan spiritualitas menjadi pembelajaran nyata tentang kepedulian sosial, inklusivitas, dan tanggung jawab kewargaan.
Keterlibatan relawan muda—seperti yang dilakukan oleh AMKI Muda dan Dompet Dhuafa—memberi ruang bagi generasi muda untuk mengasah kepemimpinan, empati, dan kesadaran sosial yang berakar pada nilai-nilai spiritual. Ini adalah investasi sosial yang penting untuk membangun masa depan bangsa yang lebih beradab dan berkeadilan.
Pada akhirnya, pengalaman banjir di Sumatera mengajarkan bahwa iman dan spiritualitas, ketika diwujudkan dalam tindakan nyata, mampu menjadi kekuatan transformatif. Ia tidak hanya menggerakkan solidaritas di saat krisis, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang memperkuat persatuan dan ketahanan sosial bangsa.
Senin, visihidup (22/12/2025).



