Oleh. Dr. Andi Bachtiar, S.Sos, M.Si, M.Pd.
(Direktur Pascasarjana UPRI Makassar)
Sejarah dan Kepemimpinan
Tak ada sejarah tanpa kepemimpinan, namun tak semua kepemimpinan akan tersejarahkan. Mengapa demikian? Dalam Sejarah selalu saja ada aktor-aktor utama yang digambarkan sebagai pelopor yang mewarnai sebagian besar perisitwa sejarah.
Peristiwa-peristiwa tersebut dianggap bersejarah karena telah memberikan sumbangsih yang besar terhadap peradaban dan umat manusia.
Sehingga ia pantas untuk dicatat sebagai kenangan generasi berikut dan pelajaran berharga untuk menata hidup dan kehidupan umat yang lebih nantinya.
Namun, sejarah bukan kisah murahan, ia selalu selektif dalam memilah dan memilih setiap peristiwa dan aktor yang dianggap pantas untuk diukirnya.
Tak heran jika kita mendapati begitu banyaknya peristiwa di muka bumi ini beserta aktor-aktornya, namun tak begitu mudah mendapatinya dalam catatan dan memori sejarah.
Kepemimpinan selalu datang silih berganti, namun hanya sedikit yang dianggap layak diingat dalam sejarah.
Sejarah dan kepemimpinan memang pada akhirnya akan saling butuh satu dengan yang lainnya.
Sejarah akan merekam setiap peritiwa bersejarah yang dipelopori sang pemimpin dengan sejumlah kisah kepahlawannya.
Sehingga sejarah menjadi begitu bernilai bagi umat manusia dengan catatan-catatan pentingnya.
Sementara itu, kepemimpinan hebat akan hidup dan merambah kemana-mana, melintasi batas wilayah dan benua bahkan waktu dan zaman karena diukir dengan indah serta kuat dalam Sejarah Keumatan.
Kisahnya menjadi kenangan yang memotivasi, menjadi cerita yang menginspirasi, menjadi teladan yang mencerahkan. Walaupun awalnya, keduanya berjalan dan bekerja dengan caranya masing-masing.
Sejarah kepemimpinan terkadang akan melegenda, namun ia bukan dogeng, mitos atau legenda tanpa fakta sejarah.
Sejarah adalah sebuah kisah yang kuat akan fakta-fakta sejarah kepemimpinan yang benar. Karena Sejarah punya caranya sendiri dalam menarasikan kisahnya: menyediakan sumber sejarah yang kuat (heuristic), selalu kritis menelah kebenaran, dan melakukan interpretasi yang benar dan proporsional hingga menghasilkan Histiografi yang pantas untuk generasi saat ini dan akan datang.
Sejarah selalu menggunakan kacamata yang objektif, walau tak jarang terwarnai oleh sikap subjektivitas penulisanya, namun sejarah selalu bijak: Subjektif tetapi Objektif.
Inilah Sejarah dan Kepemimpinan, dua perihal yang bekerja dengan pola dan perilakunya masing-masing, namun sejarah menjadi amat vital karena secara cermat merekam kisah-kisah kepemimpinan yang hebat, dan kepemimpinan hebat akan senantiasa hidup karena terekam dengan kuat dalam memori sejarah. Akankah, Sejarah kepemimpinan itu juga milik kita?
Istana-Istana dalam Kepemimpinan
Dalam kepemimpinan, tak jarang kita dapati begitu banyak istana-istana yang dibangun. Istana-istana ini adalah symbol kedidayaan dan kemegahan dari sebuah dinasti yang ingin ditunjukkan kepada sejarah.
Iya, Istana-istana ini tidak hanya bertujuan untuk menegaskan tentang kedidayaan dinastinya, tetapi juga agar tetap legam dalam memori sejarah.
Diingat! bahkan dielu-elukan dalam sejarah. Dan ternyata, istana-istana kepemimpinan ini tidak hanya dalam bentuk gedung-gedung yang megah saja, tetapi bisa juga dalam bentuk lain seperti menara-menara yang menjulang tinggi, tugu-tugu, piramida, patung, jembatan serta bentuk fisik lainnya yang sengaja dibangun dengan megah, mewah dan menarik.
Fakta dan semangat ini bisa kita dapati dimana-mana bahkan hingga saat ini.
Dalam semangat membangun Istana Kepemimpinan ini, kemewahan dan kemegahan seolah menjadi warna utama, namun tujuan utamanya selalu saja sama yaitu simbol kebanggaan dan ingin menegaskan dinastinya dalam sejarah.
Lalu, apakah istana-istana ini juga merupakan representasi dari keberhasilan kepemimpinannya? Jawabannya jelas! “TIDAK”. Tidak sama sekali..
Dalam banyak referensi kepemimpinan, kita tidak mendapati kemegahan sarana-sarana tersebut sebagai ukuran keberhasilan kepemimpinan.
Paling tidak, mengutip pendapat Yulk (2010), bahwa ukuran utama keberhasilan kepemimpinan dapat dilihat dari tiga hal, yaitu tercapainya tujuan bersama atau organisasi, sikap baik yang ditunjukkan pengikut terhadap pemimpinnya atas kepemimpinannya, serta ada kontribusi nyata dari pemimpin dalam membangun dan pengembangan (empowerment) pengikut atau rakyatnya.
Lalu, apakah istana-istana itu juga akan menjadi sumber kebangaan dan akan lekam dalam sejarah? Jawabanya, “Tidak selalu!”
Membangun istana-istana kepemimpinan pada dasarnya adalah hak setiap pemimpin dalam era kepemimpinannya. Namun yang patut diingat, bahwa istana-istana tersebut punya kemungkinan lain jika misi utama kepemimpinan tidak terengkuh dengan baik.
Pertama, istana-istana itu akan senantiasa ada namun selalu lekam akan cerita yang kelam seperti piramida-piramida di mesir dengan sejarah Firaunnya atau gedung-gedung pencakar langit di Jakarta dengan masa kelam pembangunan orde baru yang pro kapitalisme.
Kedua, istana-istana tersebut hilang ditelang sejarah karena Allah SWT yang melenyapkannya seperti kaum A’ad dan Tsamud, atau diruntuhkan oleh rakyatnya sendiri atau dinasti-dinasti berikutnya.
Ketiga, Bisa saja ada istana-istana yang menjadi saksi sejarah kehebatan sebuah dinasti, namun sejarah keumatan selalu tak mempedulikan istana-istana tersebut dan lebih mengelu-elukan cerita hebat sang pemimpin dalam kepemimpinannya.
Olehnya, kemegahan dan kemewahan istana-istana dalam bentuk fisik apapun, bukankah representasi dari kehebatan kepemimpinan seseorang dimanapun. Cerita kepemimpinan adalah cerita perilaku kemanusiaan terhadap manusia lainnya.
Cerita tentang sensivitas, kepedulian, harga diri, kekuatan tekad bahkan pengorbanan untuk orang-orang yang dipimpinnya.
Bukan cerita tentang kedigdayaan dan hegemoni pribadi dalam ruang sejarah. Inilah kepemimpinan, Produknya adalah kehidupan umatnya yang lebih baik, bukan istana-istana dalam berbagai bentuk yang berdiri megah!
Kepemimpinan dan Sejarahnya
Sejatinya kepemimpinan adalah ia ada untuk umatnya, bukan untuk dirinya atau golongannya. Jika ia gelisah, maka geliahnya untuk umatnya.
Jika ia merasa sedih dan haru, maka sedih dan harunya karena umatnya. Kalau ia bangga dan senang, itu karena mekarnya senyum bahagia umatnya.
Jika ia berdoa, maka doanya untuk hidup dan kehidupan umatnya saja. Pemimpin sejati, tak jarang akan lupa akan dirinya sendiri.
Seolah ia telah menghibahkan diri untuk melayani dan melayani. Disaat itulah, sejarah akan kuat mengingatnya dalam memori keumatan.
Kita bisa menyaksikan beberapa jenis kepemimpinan seperti ini, Mahatma Gandhi di India, Jenghis Khan dari seorang budak kemudian berubah menjadi pemimpin dan panglima hebat hingga strateginya dipelajari hingga saat ini di dunia bisnis maupun militer, atau kisah kepemimpinan Abubakar Ashidiq ra, Umar Bin Khatab ra, Ali Bin Abithalib ra, Usman Bin Affan ra, bahkan Umar bin Abdul Azis.
Kisah mereka telah melegenda, namun apakah mereka meninggalkan istana-istana sebagai bukti kepemimpinannya? Tidak! Namun memori “sejarah” umat tak akan pernah lupa dengan kepemimpinan dan dinastinya.
Mungkin kita tidak pernah lupa juga dengan sejarah Seorang Pemimpin Hebat, yang badannya tak jarang meninggalkan bekas tikar alas tidurnya, tinggal di tempat yang sederhana, dan kadang harus menyangga perutnya dengan batu karena menahan lapar.
Seorang pemimpin yang memiliki visi kepemimpinan yang hebat. “Menjadi Rahmat bagi Seluruh Alam”. Benar! Dia adalah Muhammad, SAW, yang diakhir hayatnya selalu mengkhawartikan satu hal: “Umati, Umati.. Umati…”
Inilah kepemimpinan tanpa istana-istana, namun akan selalu legam dalam pahatan sejarah umat dan perabadan kemanusiaan. Apakah kita tengah menapakinya juga? Semoga!!!
Wallahu a’lam bishowab.***