mediapesan.com | Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Sulsel menjelaskan tentang adanya Migran non prosedural alias ilegal di Sulawesi Selatan.
Kepala BP3MI Sulsel, Suratmi Hamida mengungkapkan, persoalan deportasi imigrasi terhitung pada bulan Januari 2024, sudah lebih seratus orang (Migran) yang ditangani.
InsyaAllah pada hari Jumat nanti kita akan melakukan kegiatan diskusi publik terkait Migrasi dalam penanganan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), kata Suratmi kepada wartawan, (25/1/2024).
Jalur di Sulsel ini sangat menjanjikan, dimana para migran mudah diberangkatkan secara non prosedural atau ilegal oleh jasa yang tersedia, dan juga sangat bebas, hingga biasanya teman-teman yang ingin bermigrasi ke Malaysia, menggunakan jalur dari Kalimantan Utara dan kalimantan Barat, ungkapnya.
Migrasi Sulsel ini, lanjut Suratmi, lebih tinggi menggunakan jalur Pontianak dan Nunukan. Pasalnya, lebih banyak migrasi keluar dari pada migrasi masuk.
Hal ini disebabkan banyak sanak saudara dan keluarga yang tinggal dan menetap di wilayah Pontianak dan Nunukan, utamanya di Serawak banyak orang Bugis menetap di sana.
Jadi satu-satunya negara yang tidak pernah mempertanyakan persoalan ijasah itu adalah Negara Malaysia. Karena yang terpenting itu bisa bekerja menggunakan otot bukan otak, katanya.
Lebih lanjut Suratmi, bahwa kebanyak di sana itu yang dibutuhkan adalah tenaga pekerja kebun, seperti ketika seseorang kuat menombak sawit, maka di situ mereka bisa menghasilkan uang banyak, sebab mereka melihat itu bukan menggunakan kekuatan otak tetapi kekuatan otot.
Satu satunya negara yang tidak melihat apa keahlian dan apa potensi bahasa yang di miliki itu cuma Malasyia, terangnya.
Lanjutnya, bahwa disadari atau tidak Indonesia memiliki sumber daya manusia dibidang pendidikan masih rendah, dan apalagi tidak memiliki ijasah.
kita tidak bisa menerima mereka, karena pekerjaan yang ada di negara kita ini masih mempertimbangkan persoalan prosedural, seperti harus memiliki keahlian dan kompetensi.
Mereka merasa nyaman dan mereka bisa diterima disana, yakni negara Malasyia, yang tidak menggunakan standarisasi dan prosedural yang prosesnya rumit, maka mau tidak mau diawali dengan migrasi keluarga.
Negara kita tidak bisa menerima keadaan ini, dan tidak bisa memberikan peluang kerja yang baik. Akhirnya hasrat itu yang membuat mereka beramai-ramai keluar jika ada tawaran kerja di sana. Malaysia senang menggunakan para pekerja Indonesia, karena buruhnya murah.
Sekarang itu kita membentuk komunitas relawan Pekerja Migran Indonesia (PMI), yang ada pada 16 kabupaten-kota dan bekerjasama dengan lembaga pendidikan pemerintah daerah, sebab kita tidak dapat bekerja sendiri.
BP3MI Sulsel ini adalah lembaga vertikal, karena kantornya cuma ada di provinsi yang otomatis tidak bisa menjangkau semuanya, apalagi untuk bekerjasama dengan lembaga lainnya.
Selaku pemerintah, kita tidak memiliki hak untuk melarang mereka bekerja dimanapun, sebab itu adalah hak asasi setiap warga negara Indonesia yang sudah di lindungi undang undang. Tetapi ketika mereka memutuskan untuk bekerja di luar negeri, maka otomatis harus mengikuti persyaratan yang diterapkan oleh pemerintah, jelas Suratmi kepada wartawan.
Kata Suratmi lagi, pemerintah menginginkan sebelum mereka keluar, harus kondisi aman, dan setelah mereka bekerja atau migrasi keluar negeri, maka dapat terlindungi dan ketika mereka pulang pun juga aman serta hak-haknya semua dapat ter-cover.
Ketika mereka berangkat menggunakan jalur-jalur ilegal non prosedural, maka apa yang menjadi hak-haknya mereka tidak akan mendapatkannya. Saya berharap kalau teman-teman mendapatkan informasi pekerjaan sebaiknya di cek pada kanal-kanal resmi, seperti dari Dinas ketenagakerjaan, untuk memastikan kebenaran dan jangan sampai mereka di iming-imingi dengan gaji tinggi namun yang terjadi adalah suatu penipuan, ujarnya.
Dijelaskannya, data di Sulsel ini angka penempatan jalur resmi sangat sedikit sekali di bandingkan dengan angka pemulangan, angkanya 90 persen yang di dominasi pada penggunaan jalur ilegal, dan otomatis ketika pemulangan jalur non prosedural ini maka hak-haknya itu mereka tidak didapatkan sebagai WNI, tetapi kita sebagai pemerintah menjadi kewajiban yang harus hadir menangani persoalan-persoalan seperti ini. ***
(pl)