mediapesan.com | Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim Polri kembali mengguncang jagat pemberantasan korupsi dengan menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan suap pengurusan Dana Insentif Daerah (DID) di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.
Kabar ini tentu menjadi sorotan tajam, mengingat kedua tersangka memiliki jabatan yang cukup signifikan dalam struktur pemerintahan.
Menurut Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Divisi Humas Polri, Kombes Erdi Adrimulan Chaniago, kedua tersangka adalah TA, mantan Kadis PU Kota Balikpapan periode 2016-2018, dan FI, seorang ASN BPK RI yang menjabat sebagai Kasub Auditorat Kaltim I BPK-RI Perwakilan Kaltim pada tahun 2017-2019.
Dari hasil gelar perkara pada 7 Februari, penyidik Dittipidkor Bareskrim telah menetapkan TA dan FI sebagai tersangka terkait dugaan pemberian suap dalam pengurusan DID, kata Kombes Erdi dalam keterangan tertulis, Jumat (23/2/2024).
Erdi menjelaskan bahwa kedua tersangka dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus ini bermula dari pelimpahan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Agustus 2023 lalu dan telah mengalami peningkatan status perkara dari tahap penyelidikan menjadi penyidikan pada Januari 2024.
Terungkap pula bahwa Walikota Balikpapan pada saat itu, RE, telah meminta SKPD untuk mencari cara meningkatkan anggaran DID Kota Balikpapan untuk tahun 2018.
Namun, yang mencengangkan adalah modus operandi yang digunakan dalam kasus ini.
Salah seorang anak buah Walikota, MM, yang menjabat sebagai Kepala BPKAD, meminta bantuan FI, seorang anggota BPK perwakilan Kaltim, untuk menggalang dana DID.
Selanjutnya, FI menghubungi YP, seorang ASN di Kemenkeu, yang kemudian berkoordinasi dengan RS, juga seorang ASN di Kemenkeu, yang mengklaim dapat memfasilitasi pencairan dana DID.
Selanjutnya, Pemkot Balikpapan mengajukan surat usulan DID yang pada akhirnya disetujui dengan alokasi dana sebesar Rp26 miliar.
Namun, untuk mencairkan dana tersebut, terungkap bahwa YP dan RS meminta suap sebesar 5 persen dari total dana, atau sekitar Rp1,36 miliar.
Tanpa ampun, diduga bahwa apabila permintaan tersebut tidak dipenuhi, dana DID akan dialihkan ke daerah lain.
Dalam kesaksian, TA diketahui telah menyetujui permintaan suap tersebut melalui perantara FI sebagai imbalan atas pengurusan DID.
Uang suap tersebut kemudian disimpan dalam dua buku tabungan, yang nantinya diserahkan ke YP dan RS melalui FI.
Kasus ini membawa dampak yang cukup dalam, tidak hanya terkait penyalahgunaan kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara, tetapi juga merusak kepercayaan terhadap proses pengelolaan anggaran publik.
Dengan penegakan hukum yang tegas, semoga kasus ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi seluruh pihak untuk tidak terjerumus dalam praktek korupsi yang merugikan masyarakat dan negara, pungkasnya.