Mediapesan | Jakarta – Sidang lanjutan uji materi Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (10/11/2025).
Sidang yang dipimpin langsung oleh Ketua MK Prof. Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. itu membahas batas antara perlindungan hukum dan tanggung jawab etis seorang wartawan.
Perkara dengan nomor 145/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM), yang menilai pasal tersebut belum memberikan jaminan hukum yang kuat bagi jurnalis dan masih membuka ruang multitafsir.
Perlindungan Harus Diikuti Kepastian Hukum
Dalam kesaksiannya, Dr. Albert Aries, ahli hukum pidana, menilai perlindungan hukum terhadap wartawan seharusnya diperkuat dengan imunitas terbatas.
Menurutnya, wartawan yang bekerja dengan itikad baik dan mematuhi kode etik jurnalistik layak memperoleh perlindungan hukum yang setara dengan profesi lain seperti advokat, notaris, atau anggota BPK.
“Jika wartawan menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik sesuai kode etik, maka ia tidak sepatutnya dikenai tindakan kepolisian atau gugatan perdata. Perlindungan ini bukan bentuk impunitas, melainkan jaminan agar pers bisa bekerja bebas dan bertanggung jawab,” ujar Albert di ruang sidang MK.
Ia juga menyinggung kasus-kasus penting seperti Bambang Harymurti (Tempo) dan Supratman (Rakyat Merdeka), yang menunjukkan bahwa wartawan bisa menjalankan fungsi kontrol sosial tanpa harus berhadapan dengan kriminalisasi.
Namun, ia menambahkan, “Banyak jurnalis di daerah tidak seberuntung itu — mereka masih menjadi korban kekerasan atau ancaman hukum karena profesinya.”
Saksi Jurnalis: Kekerasan Masih Jadi Kenyataan
Hal senada disampaikan Moh. Adimaja, jurnalis foto yang hadir sebagai saksi Pemohon.
- Iklan Google -
Ia menceritakan pengalaman pribadi saat mengalami kekerasan fisik saat meliput demonstrasi di kawasan Senen, Jakarta.
“Saya dipukuli, kamera direbut, dan dipaksa menghapus gambar. Semua terjadi saat saya meliput sesuai prosedur jurnalistik,” tuturnya.
Adimaja menegaskan bahwa perlindungan hukum yang dijanjikan Pasal 8 UU Pers belum terasa nyata, terutama bagi jurnalis lapangan.
“Pertanyaannya, perlindungan itu untuk medianya, atau untuk profesinya sebagai jurnalis?” ujarnya.
Hakim MK: Imunitas Tidak Boleh Absolut
Menanggapi hal itu, Hakim Konstitusi Prof. Arief Hidayat mengingatkan bahwa imunitas wartawan tetap memiliki batas.
“Dalam era post-truth, karya jurnalistik bisa saja dimanfaatkan untuk kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Karena itu, syarat itikad baik harus menjadi tolok ukur utama dalam perlindungan wartawan,” tegasnya.
Majelis menilai, perlindungan hukum bagi jurnalis perlu berjalan seimbang: wartawan harus terlindungi dari kriminalisasi, sementara publik tetap berhak mendapatkan informasi yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
PWI: Negara Harus Hadir Nyata, Bukan Sekadar Norma
Dari pihak terkait, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat melalui Anrico Pasaribu, bersama sejumlah pengurus bidang hukum, menegaskan bahwa perlindungan terhadap wartawan tidak boleh berhenti di atas kertas.
“Pasal 8 UU Pers memang konstitusional, tapi pelaksanaannya masih lemah. Perlindungan wartawan harus dijalankan sebagai kewajiban aktif negara, bukan sekadar tanggung jawab moral,” ujar Anrico usai sidang.
PWI mendorong adanya koordinasi permanen antara Dewan Pers, aparat penegak hukum, dan organisasi profesi wartawan, agar setiap ancaman terhadap jurnalis dapat direspons cepat dan efektif.
Sidang Ditutup, Jalan Panjang Perlindungan Pers
Sidang yang berlangsung hampir satu jam itu menegaskan tiga poin penting:
1. Wartawan yang bekerja dengan itikad baik layak mendapat imunitas profesi terbatas;
2. Kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis masih nyata di lapangan;
3. Perlindungan pers harus diikuti langkah nyata negara, bukan sekadar formalitas hukum.
Sidang ditutup pukul 14.12 WIB, dan akan dilanjutkan pada 24 November 2025 untuk mendengarkan keterangan ahli dari Presiden.



