Jakarta (mediapesan) – Pemangkasan anggaran besar-besaran akibat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 memicu kegelisahan di berbagai lembaga negara, termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Dengan pagu anggaran awal sebesar Rp220 miliar, Kementerian Keuangan meminta LPSK melakukan efisiensi hingga Rp144 miliar atau sekitar 62%.
Akibatnya, hanya tersisa Rp88 miliar untuk seluruh operasional, termasuk perlindungan saksi dan korban.
Minimnya anggaran ini membuat Ikatan Pegawai LPSK mendesak pimpinan untuk secara terbuka mengumumkan moratorium layanan perlindungan kepada publik.
Mereka khawatir anggaran yang tersisa tidak cukup untuk menjalankan tugas utama LPSK secara optimal.
Dalam pertemuan yang digelar di pelataran Gedung LPSK pada Senin (10/2/2025), para pegawai menyampaikan berbagai tuntutan kepada pimpinan.
Ketua Ikatan Pegawai LPSK, Tomy Permana, menekankan bahwa tanpa anggaran yang memadai, LPSK akan kesulitan memberikan perlindungan yang layak bagi saksi dan korban.
Jika tetap dipaksakan, kualitas layanan dikhawatirkan menurun drastis.
Selain itu, para pegawai meminta agar LPSK segera menerapkan kebijakan work from anywhere (WFA).
Pasalnya, akibat efisiensi, sejumlah fasilitas di kantor mengalami pengurangan, termasuk listrik dan sarana kerja lainnya.
Meski demikian, Tomy menegaskan bahwa efisiensi anggaran ini tidak boleh berdampak pada pengurangan pegawai atau hak-hak mereka, termasuk pegawai kontrak dan outsourcing.
Dengan kondisi ini, masa depan perlindungan saksi dan korban di Indonesia menjadi tanda tanya besar.
Akankah pemerintah mengambil langkah strategis untuk menyelamatkan LPSK, atau justru membiarkan lembaga ini terseok-seok dalam keterbatasan anggaran?