Mediapesan | Medan – Nama Trinov Fernando Sianturi, S.H. kembali mencuat ke permukaan, kali ini bukan karena prestasi di ruang sidang, melainkan akibat pernyataan kontroversialnya di media sosial yang dinilai meresahkan publik dan melampaui batas etika profesi hukum.
Dalam sebuah video yang beredar di TikTok, Trinov melontarkan komentar bernada sinis terhadap aksi damai yang dilakukan sejumlah wartawan di Polda Sumatera Utara.
Pernyataan itu sontak memicu kecaman keras dari berbagai kalangan, terutama komunitas jurnalis dan praktisi hukum di daerah tersebut.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Pewarta Pers Indonesia (APPI) Sumatera Utara, Hardep, menilai pernyataan Trinov menunjukkan ketidakpahaman mendasar tentang hukum yang seharusnya menjadi ranah keahliannya.
Seorang pengacara kok tidak mengerti hukum? Seharusnya pelajari dulu UU tentang penyampaian pendapat di muka umum. Jangan repot mau mengkritik wartawan kalau belum paham aturannya, ujar Hardep saat ditemui di sebuah kafe di Jalan Amir Hamzah, Medan, Selasa lalu (21/10/2025).
Menurutnya, kebebasan menyampaikan pendapat telah dijamin oleh UUD 1945 serta UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum—selama dilakukan sesuai prosedur dan mendapat izin dari kepolisian.
Pernyataan “Negara Maju Butuh Wartawan Profesional” Dinilai Arogan
Kontroversi kian melebar setelah Trinov juga menyebut bahwa salah satu syarat Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2045 adalah “memiliki wartawan berintegritas dan profesional”.
Hardep menilai pernyataan tersebut tidak berdasar dan terkesan merendahkan profesi jurnalis.
Pemerintah sudah jelas memetakan syarat menuju negara maju: ekonomi tumbuh, SDM meningkat, teknologi berkembang, birokrasi efisien. Tidak ada disebut soal wartawan. Jadi kalau dia bicara begitu di TikTok, itu jelas provokatif dan menyesatkan, ucap Hardep.
- Iklan Google -
Selain itu, APPI menilai sikap Trinov yang kerap menuding media terlalu tajam dalam pemberitaan kliennya sebagai bentuk penghalangan kerja jurnalistik, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pers.
Silakan membela klien, tapi jangan menyerang media. Kalau Presiden Jokowi saja diberitakan isu ijazah palsu tidak ribut, kenapa dia yang sibuk? Ini pengacara mau membela atau cari panggung? sindir Hardep.
Dorongan Pemanggilan oleh PERADI
APPI Sumut juga menyoroti gaya komunikasi Trinov yang kerap menggunakan kalimat bernada merendahkan, seperti “petinggi-petinggi wartawan Sumut”, yang dianggap tidak etis bagi seorang advokat.
Karena itu, organisasi tersebut mendesak Dewan Pers dan seluruh aliansi wartawan untuk menyatakan sikap keberatan, sekaligus meminta PERADI memanggil Trinov guna melakukan klarifikasi dan meminta maaf secara terbuka.
Dalam waktu dekat kami akan mempertimbangkan langkah hukum. Bukti sudah kami kumpulkan, dan akan kami laporkan dengan dugaan pelanggaran Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, serta Pasal 18 ayat (1) UU Pers, tegas Hardep.
Antara Etika dan Panggung Digital
Kasus ini menambah panjang daftar gesekan antara pegiat hukum dan insan pers di era media sosial.
Banyak pihak menilai fenomena ini sebagai cerminan kaburnya batas antara ekspresi pribadi dan tanggung jawab profesional.
Bagi kalangan wartawan di Sumatera Utara, polemik Trinov adalah peringatan keras bahwa ruang digital kini menjadi medan baru dalam menjaga marwah profesi dan etika publik.



