Namlea | mediapesan.com – Sengkarut kepemilikan lahan di Kabupaten Buru kembali menyeruak, Rabu (8/10/2025).
Pengacara M. Ali Tualeka bersama ahli waris keluarga (Alm) Memang Wamnebo dan (Alm) Abdurrahim Wamnebo mendatangi pihak Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) Namlea.
Mereka menuntut kejelasan atas lahan seluas enam hektar di kawasan samping Jembatan Pamali, Desa Namlea, yang kini diklaim sebagai bagian dari area lapangan terbang (Lapter) milik AURI.
Menurut Tualeka, klaim tersebut tidak berdasar secara hukum.
Ia menegaskan bahwa area yang dimaksud tidak termasuk dalam wilayah Lapter sebagaimana tercantum dalam putusan perkara Nomor 716 Tahun 1982.
Putusan itu jelas menyebut batas-batas lahan. Jadi, pihak Lapter tidak berhak melarang ahli waris Wamnebo berkebun di situ, ujar Tualeka.
Warga Dilarang Berkebun di Tanah Sendiri
Masalah muncul ketika warga setempat yang hendak menggarap lahan justru dilarang oleh pihak Lapter, dengan alasan mereka harus meminta izin terlebih dahulu.
Tualeka menilai tindakan itu keliru dan menyalahi prinsip kepemilikan rakyat atas tanah adat mereka.
Bagaimana mau minta izin, kalau ini tanah rakyat, bukan tanah AURI? Kami datang ke Lapter untuk mengklarifikasi supaya masyarakat bisa kembali bercocok tanam, tegasnya.
Ia juga menyoroti peran Raja Petuanan Lilialy, Anwar Bessy, yang disebut ikut melepas sebagian lahan tanpa persetujuan pemilik sah.
- Iklan Google -
Raja itu bukan pemilik semua lahan. Ia hanya pemegang persekutuan hukum adat yang di dalamnya ada masyarakat dan pemilik lahan. Kalau mau melepas, harus ada persetujuan mereka, jelas Tualeka.
Laporan Hukum Berlanjut
Atas dugaan pelanggaran tersebut, Tualeka mengaku telah melaporkan Raja Petuanan Lilialy dan tujuh Saniri Negeri ke Polres Buru.
Kasus ini, kata dia, akan segera digelar perkaranya di Polda Maluku dalam waktu dekat.
Total luas lahan yang diperkarakan keluarga Wamnebo mencapai lebih dari 40 hektar — sebagian di antaranya kini menjadi objek sengketa dengan pihak AURI.
Sengketa ini menyoroti tumpang tindih antara kewenangan adat dan klaim institusi negara atas tanah, persoalan klasik yang masih menjadi luka lama di banyak wilayah Indonesia timur.
Di balik kasus ini, terselip pertanyaan mendasar: di antara adat dan negara, siapakah yang benar-benar berdaulat atas tanah rakyat?