Makassar, 3 Juni 2025 (MEDIAPESAN) – Di tengah derasnya arus berita viral yang datang dan pergi, satu nama bertahan lebih lama dari kebanyakan: Agam Rinjani, atau lebih akrab disapa Ucok.
Aksi heroiknya menyelamatkan Juliana Marins, pendaki asal Brasil yang mengalami musibah di Gunung Rinjani, tak hanya menyita perhatian nasional, tapi juga menembus batas internasional.
Namun di balik sorotan kamera dan pujian yang mengalir, tersembunyi kisah tentang seorang bocah yang tumbuh bukan dari kenyamanan, tapi dari keteguhan.
Ia lahir bukan di rumah sakit mewah, tapi di tengah tumpukan sampah, di kawasan pembuangan akhir Antang, Makassar.
Dia bukan sekadar tokoh viral, kata Makmur Payabo, Kepala Tim Reaksi Cepat Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Makassar.
Dia anak jalanan yang belajar berpikir dengan hati dan bertindak dengan nyali.
Makmur mengenal Ucok sejak masih kecil. Saat itu, ia aktif mendampingi anak-anak pemulung lewat Yapta-U, sebuah yayasan kecil di tengah tumpukan limbah.
Hubungan mereka tumbuh tak hanya sebagai pembimbing dan binaan, tapi sebagai keluarga yang lahir dari perjuangan.
Merakit Perpustakaan dari Sampah
Salah satu momen yang menggambarkan jiwa Ucok terjadi saat komunitas Yapta-U ingin membangun perpustakaan kecil.
Ide itu muncul, tapi langsung tenggelam. Tak ada buku. Tak ada rak. Apalagi dana.
- Iklan Google -
Ucok tidak ikut berdiskusi. Ia langsung bertindak. Ia mulai mengumpulkan buku-buku bekas dari sampah—robek, basah, kotor.
Ia bersihkan satu per satu, jemur di matahari, susun rapi. Setiap hari, ia membawa pulang lebih banyak.
Rak demi rak diisi hingga akhirnya lahirlah sebuah perpustakaan mini. Tanpa proposal. Tanpa donatur. Hanya tekad.
Dia anak yang tak banyak omong, tapi langkahnya selalu nyata, kata Makmur dengan mata berkaca.
Si Pendiam yang Berani
Ucok tak hanya dikenal karena kerja senyapnya, tapi juga keberaniannya.
Ia sering diundang mengikuti pelatihan anak-anak tingkat nasional—ke Jawa, ke Bali—tanpa pendamping karena keterbatasan dana.
Waktu mau ke Jawa, dia cuma bilang, ‘Antar saya ke bandara, nanti saya kabari kalau mau pulang,’ ujar Makmur sambil tertawa.
Di Kongres Anak Nasional di Bali, Ucok sempat membuat heboh karena mengajak peserta dari daerah lain berenang tengah malam di kolam hotel.
Tamu protes, panitia panik. Tapi Ucok tak merasa bersalah.
Katanya, ‘Sekali-sekali menginap di hotel besar, kolamnya bagus, sayang kalau nggak dipakai,’ kenang Makmur.
Pengalaman pahit juga datang dari program wajib minum susu dua kali sehari.
Ucok muntah-muntah. Sepulang dari Bali, ia harus dirawat 12 hari.
Dia memang nggak biasa minum susu. Tapi dia tetap ikut semua kegiatan. Nggak pernah ngeluh.
Nakal, Tapi Jenius
Di sekolah, Ucok sering bolos. Guru-guru bingung. Tapi bukan karena ia malas atau nakal. Ia hanya… butuh menghilang.
Pernah Makmur mencarinya ke TPA, tak ketemu.
Ibunya bilang, “Sudah pergi dari pagi.”
Rupanya Ucok bersembunyi di dalam lemari. Atau kadang, membungkus tubuhnya dalam kasur agar tak diganggu.
Namun di balik kenakalannya, Ucok adalah pembaca rakus.
Ia melahap buku apa pun yang ditemukannya di tempat sampah: novel, komik, hingga buku pelajaran lusuh.
Ia belajar tanpa guru, tanpa kurikulum. Ia belajar dengan caranya sendiri.
Masuk Universitas Secara Diam-diam
Setelah lulus SMA, Ucok kembali mengejutkan semua orang.
Ia mendaftar ke Universitas Hasanuddin (Unhas) secara diam-diam.
Tak ada yang tahu—bahkan ibunya sendiri—sampai pengumuman kelulusan keluar.
Bagi anak pemulung dari TPA Antang, masuk Unhas bukan sekadar prestasi akademik. Itu adalah penolakan terhadap garis nasib.
Itu adalah pernyataan bahwa siapa pun berhak duduk di ruang kuliah—terlepas dari tempat mereka dilahirkan.
Viral Bukan Segalanya
Kini, media sosial dipenuhi pujian terhadap Agam Rinjani. Tapi bagi Makmur, dan mereka yang mengenalnya, Ucok tetaplah bocah pendiam yang dulu mengumpulkan buku dari sampah. Ia tidak berubah. Ia hanya semakin bersinar.
Ucok adalah kritik hidup terhadap sistem yang buta terhadap anak-anak marjinal. Dari tumpukan sampah, dia tumbuh bukan sebagai korban, tapi sebagai pelita, jelas Makmur.
Menyalakan Jalan untuk yang Lain
Kisah Agam Rinjani adalah tamparan bagi banyak dari kita.
Ia menunjukkan bahwa keberanian tidak lahir dari keberuntungan, dan bahwa pendidikan sejati kadang tidak berasal dari ruang kelas, tapi dari kenyataan hidup.
Jika kelak Agam Rinjani berdiri sebagai pemimpin negeri ini, jangan heran.
Sebab ia telah lebih dulu memimpin dirinya sendiri — menanjak bukan hanya gunung, tapi juga hidup yang curam dan penuh jurang.