Makassar, 20 Juli 2025 | MEDIAPESAN – Kasus dugaan perampasan anak dan pengubahan identitas tanpa persetujuan ibu kandung yang menimpa Tanty Rudjito kembali mencuat ke permukaan.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Makassar, melalui UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), merespons tegas laporan yang telah diajukan Tanty sejak 4 September 2024.
Dalam laporan bernomor registrasi 2409-365, Tanty mengadukan Rusdianto, terlapor yang diduga telah menahan putrinya, Clara Fransiska Alexander, serta mengganti nama dan agama anak tersebut tanpa izin atau sepengetahuan dirinya.
Kronologi yang disampaikan pelapor menyebutkan, anak diserahkan secara sementara pada November 2020 untuk diasuh oleh pasangan yang disebut kesulitan memiliki keturunan.
Namun, menurut Tanty, kesepakatan itu dilanggar.
Alih-alih dikembalikan, Clara justru dijauhkan dari ibunya, termasuk pembatasan pertemuan.
Belakangan, Tanty mengetahui bahwa identitas Clara telah diubah secara sepihak.
UPTD PPA telah memanggil Rusdianto untuk klarifikasi.
Dalam pertemuan tersebut, Rusdianto mengakui Clara adalah anak biologis Tanty, namun ia mengklaim memiliki surat penyerahan anak.
- Iklan Google -
Tanty menegaskan bahwa dokumen tersebut hanya bermakna pengasuhan sementara, bukan adopsi tetap.
Kasus ini tak hanya bergulir di ranah administrasi.
Tanty juga melaporkan dugaan pemalsuan identitas dan pengubahan agama anak ke Unit PPA Polrestabes Makassar.
Ia menyatakan keberatan atas dugaan ketidakprofesionalan dalam penanganan kasus, bahkan menduga adanya konflik kepentingan antara terlapor dan aparat penegak hukum.
Meski dua kali gelar perkara di Polda Sulsel berpihak pada pelapor, anak tersebut belum dikembalikan hingga kini.
Mediasi yang difasilitasi UPTD PPA pun berujung buntu karena ditolak oleh pihak terlapor.
Dalam pernyataan resminya, UPTD DP3A menegaskan bahwa hak anak atas identitas, agama, serta pengasuhan oleh orang tua kandung adalah hak yang tak bisa dicabut sepihak.
Perubahan nama dan agama tanpa izin ibu kandung merupakan pelanggaran serius terhadap hak anak dan hak sipil seorang ibu, demikian bunyi pernyataan lembaga tersebut.
UPTD juga menegaskan bahwa perkara ini bukan sekadar persoalan domestik, melainkan sudah masuk dalam ranah hukum.
Mereka berkomitmen untuk terus memberikan pendampingan hukum dan psikososial kepada pelapor, sekaligus mendesak agar penegak hukum bersikap adil dan independen.
Mereka juga meminta keterlibatan aktif dari lembaga-lembaga negara seperti Komnas HAM, Komnas Anak, Komnas Perempuan, dan KPAI guna mengawal kasus ini.
Selain menuntut pemulihan identitas Clara, mereka mendesak agar anak tersebut segera dikembalikan ke pelukan ibunya.
Ini bukan hanya soal hak seorang ibu, tapi soal keadilan dan masa depan anak yang dirampas melalui tindakan sepihak yang tidak manusiawi, ujar perwakilan UPTD PPA.
Kasus ini dinilai menjadi preseden buruk dalam perlindungan terhadap perempuan dan anak di Indonesia, terutama ketika muncul dugaan keterlibatan aparat dalam pembungkaman hak-hak dasar warga negara.