Eksekusi Massal 1944: “Pembersihan” Jepang atas Elit dan Tokoh Pergerakan di Kalimantan Barat

Reporter Burung Hantu
Arsip koran Borneo Sinbun (Pontianak, 1 Agustus 1944) menyiarkan eksekusi puluhan tokoh Kalimantan Barat oleh Jepang. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Mandor ini menewaskan ribuan orang, termasuk Sultan Pontianak dan elit lokal. Halaman ini menunjukkan bagaimana media saat itu dipakai sebagai alat propaganda untuk melegitimasi kekerasan pendudukan. 

Mediapesan – Sebuah pemberitaan yang terbit di harian Borneo Sinbun mengabarkan “sukses besar” tentara pendudukan Jepang dalam membongkar “komplotan pengkhianat” di Kalimantan Barat.

Dengan nada kemenangan, koran itu menuliskan bahwa puluhan pemimpin lokal—mulai dari bangsawan, dokter, pengusaha, guru, hingga tokoh masyarakat—dituduh bersekongkol melawan Dai Nippon.

Mereka ditangkap, diadili dalam persidangan militer, lalu dijatuhi hukuman mati.

- Iklan Google -
Mediapesan.com terdaftar di LPSE dan E-Katalog Klik gambar untuk melihat Katalog kami.

Foto-foto wajah mereka terpampang di halaman depan.

Di antaranya terdapat nama-nama besar seperti Pangeran Adipati Syarif Alkadrie (kesultanan Pontianak), tokoh Tionghoa Ng Tjeng Hoe, pemuka masyarakat Arab, hingga dokter-dokter terkemuka.

Jepang menuding mereka berencana mengangkat senjata dan “mengganggu keamanan”.

Jasa Pembuatan Website Berita
Jasa Website Jogja

Tuduhan ini lantas digunakan sebagai legitimasi untuk mengeksekusi sedikitnya 21 tokoh elit Kalimantan Barat, dengan puluhan lainnya menyusul di tahun yang sama.

“Pontianak Incident” yang Terlupakan

Peristiwa ini kini dikenal dalam historiografi sebagai Peristiwa Mandor atau Pontianak Incident.

Antara 1943–1944, ribuan orang dari kalangan elit politik, ulama, jurnalis, hingga bangsawan lokal Kalimantan Barat ditangkap tentara Jepang.

- Iklan Google -

Di Mandor—sebuah desa yang kini berada di Kabupaten Landak—ribuan tahanan itu dibantai dan dikubur massal.

Laporan pascaperang menyebutkan jumlah korban mencapai sekitar 21 ribu jiwa.

Yang menarik, istilah yang dipakai koran Borneo Sinbun saat itu adalah “Komplotan Besar jang mendoerhaka oentoek melawan Dai Nippon”.

Narasi ini menampilkan bagaimana pers kolonial Jepang berfungsi sebagai alat propaganda: melabeli tokoh pergerakan sebagai pengkhianat, lalu menyiarkan eksekusi mereka sebagai kemenangan demi “ketertiban”.

Baca Juga:  Jusuf Kalla Saksikan Prosesi Pemakaman Ismail Haniyeh di Qatar

Eksekusi Simbolik: Menghancurkan Elit, Melumpuhkan Perlawanan

Eksekusi massal tersebut bukan sekadar tindakan militer.

Ia adalah strategi sistematis untuk mematahkan struktur sosial-politik Kalimantan Barat.

Dengan menyingkirkan sultan, bangsawan, tokoh Tionghoa, dan pemuka agama sekaligus, Jepang memastikan tidak ada figur otoritatif yang dapat memimpin gerakan rakyat melawan pendudukan.

Sejarawan mencatat bahwa pola serupa juga terjadi di berbagai daerah lain di Indonesia, di mana Jepang berusaha menundukkan elite lokal.

Namun di Pontianak, skala pembantaiannya jauh lebih besar.

Dari Arsip Koran ke Ingatan Kolektif

Kini, halaman koran Borneo Sinbun ini menjadi arsip berharga.

Ia menunjukkan bagaimana berita bisa dijadikan alat pengaburan sejarah.

Bagi Jepang, eksekusi ini adalah “pembersihan demi keamanan”.

Bagi rakyat Kalimantan Barat, ia adalah tragedi kemanusiaan.

Sisa-sisa ingatan peristiwa ini diperingati di Taman Makam Juang Mandor, yang kini menjadi situs bersejarah nasional.

(*/red)

Bagikan Berita Ini
Tinggalkan Ulasan

Tinggalkan Ulasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *