Jakarta | MEDIAPESAN – Setahun setelah pengambilalihan sepihak oleh Kementerian Kesehatan, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) masih mencari keadilan.
Gedung tua bercat putih di Jalan Hang Jebat III/F.3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan itu kini tampak asing.
Di masa lalu, ia menjadi saksi lahirnya ribuan kader keluarga berencana, tempat para relawan kesehatan reproduksi ditempa, dan pusat denyut nadi PKBI—Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia.
Tapi sejak Juli tahun lalu, bangunan yang berdiri sejak 1970 itu berubah status: dari rumah perjuangan kemanusiaan menjadi objek sengketa negara.
Satu tahun telah berlalu sejak Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengambil alih gedung bersejarah itu. Tanpa peringatan, tanpa dialog.
Berdasarkan surat hak pakai dari ATR/BPN, kementerian menggandeng Satpol PP dan mengeksekusi pengosongan.
Tak ada proses hukum terbuka, tak ada serah terima resmi.
PKBI—yang pada tahun-tahun awal republik menjadi pelopor pelayanan kesehatan ibu dan anak—dipaksa angkat kaki dari tempat yang mereka bangun dan rawat selama puluhan tahun.
- Iklan Google -
Kami tidak menyerah. Kami dipaksa diam. Kami diusir, tulis PKBI dalam pernyataan sikapnya, Kamis lalu (10/7/2025).
Melupakan Jejak dr. Soeharto
Gedung di Hang Jebat bukan sekadar aset. Ia bagian dari narasi panjang sejarah kesehatan nasional.
Dari tempat itulah dr. R. Soeharto—dokter pribadi Presiden Soekarno dan pendiri Ikatan Dokter Indonesia—mengomandani gerakan keluarga berencana jauh sebelum BKKBN berdiri.
Di era ketika angka kematian ibu mencapai 1.500 per 100.000 kelahiran hidup, PKBI hadir memberi harapan.
Bersama jaringan relawan, dr. Soeharto membangun sistem layanan berbasis masyarakat.
Upaya itu berbuah: angka kematian ibu turun signifikan menjadi 650 (1987), 307 (2000), dan 230 pada 2020.
Namun, menurut PKBI, kontribusi itu kini seolah dilupakan negara.
Apakah jasa hanya dikenang saat upacara? Apakah pengabdian harus kalah oleh kekuasaan administratif? kata seorang pengurus PKBI yang enggan disebut namanya.
Lima Tuntutan Keadilan
Dalam pernyataannya, PKBI melayangkan lima tuntutan terhadap Kementerian Kesehatan, khususnya Direktorat Jenderal Tenaga Kesehatan:
1. Kompensasi layak atas penggunaan gedung secara sepihak selama setahun terakhir.
2. Dokumen tertulis yang menjamin janji lisan pengembalian aset.
3. Izin penggunaan gedung tanpa batas waktu selagi PKBI menjalankan program sosial.
4. Pembebasan biaya sewa sebagai bentuk penghargaan atas pengabdian.
5. Pemulihan hak alamat resmi PKBI di lokasi Hang Jebat.
Ini bukan aksi perlawanan, kata pengurus itu. Ini ikhtiar mencari keadilan secara konstitusional.
Dilema Negara
Sikap negara terhadap PKBI menimbulkan pertanyaan besar.
Mengapa organisasi masyarakat sipil yang berkontribusi besar dalam membangun kesehatan publik justru diperlakukan seperti beban administratif?
Ini bukan semata soal gedung. Ini soal relasi negara dan rakyat. Soal penghargaan terhadap sejarah, terhadap perjuangan yang dimulai ketika negara belum punya cukup tangan menjangkau masyarakat.
Ketika negara kini merasa cukup kuat, kontribusi itu dianggap selesai. Dilupakan.
Melayani Meski Terluka
Hingga hari ini, PKBI tetap hidup. Lewat 25 kantor wilayah, 185 cabang kabupaten/kota, dan lebih dari 3.000 relawan aktif, mereka tetap menjalankan program pendidikan kesehatan, pendampingan korban kekerasan, pelatihan tenaga lapangan, hingga pelayanan klinik kesehatan reproduksi.
Tanpa dana besar, tanpa pamrih, tanpa panggung.
Kami tidak akan berhenti berharap, tulis PKBI dalam pernyataannya. Untuk generasi mendatang. Untuk sejarah yang tidak boleh dilupakan.