Ketika Kritik Digugat: Tempo, Dewan Pers, dan Ujian Demokrasi

Reporter Burung Hantu
Sampul Tempo edisi 16 Mei 2025 berjudul “Poles-Poles Beras Busuk” menjadi pemicu gugatan Rp200 miliar oleh Menteri Pertanian terhadap Tempo—kasus yang kini menguji batas kebebasan pers di Indonesia.

Gugatan Rp200 miliar Menteri Pertanian terhadap Tempo bukan sekadar perkara perdata, tapi ujian terhadap batas kebebasan pers dan fungsi kontrol publik di Indonesia.

 

Mediapesan | Jakarta – Sidang gugatan perdata Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman terhadap PT Tempo Inti Media Tbk kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (3/11/2025).

Di ruang sidang, pukul 10.00 WIB, majelis hakim mendengarkan keterangan saksi ahli dari pihak Tempo.

- Iklan Google -
Mediapesan.com terdaftar di LPSE dan E-Katalog Klik gambar untuk melihat Katalog kami.

Perkara bernomor 684/Pdt.G/2025/PN Jkt Sel ini bermula dari berita Tempo edisi 16 Mei 2025 berjudul “Poles-Poles Beras Busuk.”

Kuasa hukum Menteri Amran menilai pemberitaan tersebut merugikan secara materiel dan immateriel hingga Rp200 miliar karena menurunkan citra Kementerian Pertanian (Kementan) dan kepercayaan publik.

Namun Tempo, melalui kuasa hukumnya dari LBH Pers menegaskan bahwa berita tersebut sudah diproses sesuai mekanisme etik di Dewan Pers.

Jasa Pembuatan Website Berita
Jasa Website Jogja

Dewan Pers bahkan telah menerbitkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Nomor 3/PPR-DP/VI/2025, dan Tempo sudah melakukan koreksi.

Karena itu, Tempo menilai gugatan ini seharusnya tak lagi berlanjut ke pengadilan umum.

Kronologi Sidang: Dari Mediasi hingga Saksi Ahli

Sidang perdana pada 15 September 2025 dengan agenda awal hanya memeriksa kelengkapan berkas dan pembacaan gugatan.

- Iklan Google -
Wakil Pemred Tempo Bagja Hidayat setelah mengikuti sidang pembacaan gugatan Menteri Pertanian di PN Jakarta Selatan (15/9/2025). (Sumber: Instagram Tempo)
Wakil Pemred Tempo Bagja Hidayat setelah mengikuti sidang pembacaan gugatan Menteri Pertanian di PN Jakarta Selatan (15/9/2025). (Sumber: Instagram Tempo)

Sejak itu, perkara ini bergulir cukup panjang. Lima kali upaya mediasi dari Agustus hingga awal Oktober gagal.

Baca Juga:  Riverside Makassar: Dugaan Proyek Tanpa Amdal, Diamnya Polisi

Tempo selalu diwakili direksi, namun Menteri Amran tidak pernah hadir langsung.

Sidang pembuktian awal pada 20 Oktober tertunda karena ruang sidang digunakan untuk perkara lain.

Baru pada 27 Oktober, kubu Amran menyerahkan delapan bukti surat yang mereka klaim menunjukkan kerugian akibat pemberitaan.

Tempo menyebut gugatan tersebut termasuk Unjustified Lawsuit Against Press (ULAP)gugatan yang tidak berdasar dan berpotensi membungkam fungsi kontrol sosial pers.

Dalam sidang hari ini, Yosep Stanley diminta memberi pandangan hukum mengenai apakah gugatan ini sah secara hukum terhadap media yang sudah mengikuti mekanisme Dewan Pers.

Menurut Tempo, sengketa pemberitaan semestinya berhenti di Dewan Pers sesuai amanat UU Pers No. 40 Tahun 1999.

Kuasa hukum Tempo juga meminta hakim mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 105/PUU-XXII/2024 yang menegaskan bahwa gugatan pencemaran nama baik hanya bisa diajukan oleh individu, bukan lembaga negara.

“Menggugat media karena pemberitaan kritis sama saja mundur ke era pra-reformasi,” ujar Mustafa Layong di sela sidang.

Gelombang Solidaritas: “Lawan Pembredelan Gaya Baru”

Di luar ruang sidang, puluhan jurnalis dan aktivis berkumpul.

Aksi berlangsung damai dengan pelbagai tulisan kritik di poster-poster.

20251103 211937 1
(Kabar24).

Salahsatu koordinator aksi menyebut kasus ini sebagai preseden berbahaya.

“Kalau pejabat publik bisa seenaknya menggugat media, siapa lagi yang berani memberitakan dugaan penyimpangan? Padahal pers itu pelindung kepentingan publik,” ujarnya.

Gelombang dukungan juga ramai di media sosial.

Jurnalis senior Andreas Harsono menulis di X (Twitter): “Gugatan perdata Menteri Pertanian Amran Sulaiman berkisar soal apa yang dia anggap liputan negatif Tempo. Gugatan Rp 200 milyar sbg ganti rugi. Ini bukan sekedar perbedaan pendapat soal jurnalisme. Ini hendak bikin bangkrut Tempo.”

Baca Juga:  Jaksa Agung dan PWI Sepakat Perkuat Sinergi: Pers dan Penegak Hukum Harus Jalan Seiring

Akar Persoalan: Kritik yang Berujung Gugatan

Kasus ini berawal dari liputan investigatif Tempo tentang dugaan pembelian beras rusak oleh Bulog di bawah koordinasi Kementan.

Meski Dewan Pers menilai liputan itu sah sebagai kontrol sosial, Amran menilai pemberitaan tersebut merusak citra Kementan dan tetap melayangkan gugatan perdata.

LBH Pers dan kelompok jurnalis menyebut langkah tersebut sebagai bentuk strategic lawsuit against public participation (SLAPP) atau upaya membungkam kritik publik dengan jalur hukum.

Tempo menyatakan akan menghadapi gugatan ini secara hukum, sembari menegaskan komitmen terhadap prinsip jurnalisme etik dan independen.

“Kami bukan hanya membela diri, tapi membela hak masyarakat untuk tahu,” ujar kuasa hukum Tempo.

Mengapa Kasus Ini Penting?

Secara edukatif, kasus ini menjadi pelajaran penting tentang fungsi Dewan Pers dan posisi media dalam sistem demokrasi.

Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 menegaskan bahwa sengketa pemberitaan harus diselesaikan melalui Dewan Pers, bukan lewat pengadilan umum.

Langkah Menteri Pertanian dianggap melanggar prinsip itu dan berpotensi membuka pintu bagi kriminalisasi media.

Dalam konteks lebih luas, gugatan terhadap Tempo mencerminkan dinamika hubungan antara kekuasaan dan kebebasan pers di era digital.

Di tengah derasnya arus informasi dan tekanan politik, jurnalisme masih menjadi salah satu benteng terakhir demokrasi.

Jika gugatan seperti ini dibiarkan, media bisa enggan mengungkap kasus penyimpangan karena “takut” pada risiko hukum dan finansial.

Menjaga Ruang Publik Tetap Terbuka

Sidang berikutnya dijadwalkan pekan depan, dengan agenda kesimpulan kedua pihak.

Namun di luar hasil akhirnya, perkara ini telah menjadi pengingat penting: kebebasan pers bukan hanya hak media, melainkan hak publik untuk mendapatkan informasi yang jujur dan kritis.

Baca Juga:  Poltekpar Makassar Dorong Budaya Keterbukaan Informasi Publik

Dalam demokrasi yang sehat, kritik bukan musuh pejabat—ia justru menjadi cermin untuk memperbaiki kebijakan.

Seperti kata pepatah jurnalisme, “Jika kekuasaan takut pada berita, maka publik harus berani membaca lebih dalam.”

(*/red)

Bagikan Berita Ini
Tinggalkan Ulasan

Tinggalkan Ulasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *