Enrekang (mediapesan) – Polemik penerbitan dan penjualan buku biografi Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Enrekang, Padeli, terus berkembang tanpa kejelasan.
Berbagai pihak terlibat dalam kontroversi ini, mulai dari Kejaksaan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD), hingga aktivis pemantau keuangan daerah.
Dalam pernyataan di beberapa media dan media sosial, Kajari Enrekang Padeli mengklaim bahwa dirinya tidak mengetahui mengenai penjualan buku tersebut.
Ia menegaskan bahwa inisiatif penjualan berasal dari penulis buku, Sunarti Lewang, serta Sekretaris DPMD Enrekang, Sukri.
Namun, pernyataan ini bertolak belakang dengan pengakuan Sukri.
Ia mengungkapkan bahwa dirinya hanya meneruskan informasi ke desa-desa berdasarkan arahan dari Kejari Enrekang.
Sukri juga menyebut bahwa ia sempat ditelepon pihak Kejari untuk memberikan klarifikasi bahwa penjualan buku ini tidak terkait dengan review anggaran dana desa yang dilakukan terhadap 112 desa di Aula Kejaksaan.
Di sisi lain, Sunarti Lewang selaku penulis buku biografi memberikan penjelasan lebih rinci.
Menurutnya, harga buku memang ditentukan olehnya, bukan oleh Kajari.
Ia menegaskan bahwa proses penyusunan buku melibatkan riset mendalam, penyuntingan, dan verifikasi fakta agar buku tersebut memiliki nilai bagi pembaca.
Menariknya, Sunarti diketahui merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Enrekang, yang dikaryakan ke Kejaksaan Negeri Enrekang sebagai Arsiparis melalui SK Bupati Enrekang.
Sementara itu, aktivis dari Perkumpulan Pemantau Keuangan Negara (PKN) Kabupaten Enrekang, Muhammad Moechtar, meragukan klaim Kajari yang menyatakan tidak mengetahui penjualan buku tersebut.
Moechtar mengungkapkan bahwa terdapat surat edaran ke desa-desa dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang ditandatangani oleh Kajari sebagai Ketua Tim Publikasi.
Saya menduga penjualan buku ini dijadikan sebagai lahan bisnis dengan menyasar semua desa dan OPD. Kalau bukan buku biografi Kajari, tidak mungkin desa dan OPD membeli hingga 10 eksemplar dengan harga Rp150.000–Rp200.000 per buku, apalagi jika harus menggunakan uang pribadi yang hampir setara dengan gaji satu bulan, ujar Moechtar.
Kontroversi ini pun masih bergulir tanpa kepastian.
Apakah penjualan buku ini benar-benar murni sebagai bentuk apresiasi literasi atau ada kepentingan lain di baliknya?
Semua mata kini tertuju pada pihak berwenang untuk mengungkap fakta yang sebenarnya. ***