MEDIAPESAN, Luwu Utara – Suara-suara kritis dari kalangan mahasiswa di Luwu Utara kini mulai menghadapi arus balik.
Mahasiswa yang selama ini dikenal sebagai agen perubahan dan pengawal kebijakan publik, justru mulai dicap sebagai penghambat pembangunan.
Tuduhan bahwa mereka ditunggangi kepentingan tertentu pun kian menguat.
Perubahan ini terjadi seiring pergantian kepemimpinan di daerah.
Aksi demonstrasi yang dulu dianggap sebagai bentuk partisipasi demokratis, kini mulai dinilai negatif.
Beberapa suara di media sosial lokal, terutama di grup Facebook komunitas, menyebut mahasiswa “tidak ingin daerah maju” atau bahkan “hanya cari sensasi.”
Tak hanya cibiran daring, sejumlah mahasiswa juga melaporkan adanya tekanan langsung—baik secara verbal maupun dalam bentuk tindakan represif dari oknum aparat dan pejabat.
Irsyad Alfarizi, aktivis muda dan pengamat sosial, menyesalkan fenomena ini.
Baginya, kritik bukanlah bentuk perlawanan, melainkan wujud kepedulian terhadap arah kebijakan yang diambil pemerintah.
Kritik mahasiswa itu keberanian intelektual. Ia adalah cermin yang membantu pemerintah melihat celah dalam kebijakan mereka. Kalau kritik dibungkam, yang tumbuh bukan kemajuan, tapi kesalahan yang terus berulang, jelas Irsyad dalam keterangannya, Rabu (28 Mei).
Irsyad menekankan bahwa alergi terhadap kritik bisa melumpuhkan iklim demokrasi.
Ia menyebutnya sebagai gejala yang mengarah pada budaya bisu—di mana ketakutan menggantikan dialog.
Demokrasi yang sehat itu memberi ruang untuk berbeda pendapat. Kalau semua yang tidak sejalan dianggap musuh, maka yang hilang bukan hanya suara mahasiswa, tapi juga semangat kolektif membangun daerah, lanjutnya.
Lebih jauh, ia menyoroti risiko sosial dari sikap anti-kritik: melemahnya daya pikir kritis masyarakat, susahnya membangun kerja sama, hingga pudarnya kepercayaan publik terhadap institusi.
Mahasiswa dan aktivis di Luwu Utara kini berharap masyarakat mampu membedakan antara kritik dan permusuhan.
Bagi mereka, kritik adalah bentuk cinta pada tanah kelahiran—bukan penolakan terhadap pembangunan, melainkan upaya agar pembangunan berjalan dengan adil dan berpihak pada rakyat.
Jika kita ingin daerah ini tumbuh, maka semua suara harus didengar—termasuk suara yang tak selalu menyenangkan, pungkas Irsyad.
Dengan kepemimpinan baru di Luwu Utara, pertanyaannya kini adalah: apakah kritik akan tetap diberi tempat dalam ruang demokrasi, atau justru dibungkam atas nama stabilitas?