Jakarta | Mediapesan – Keanekaragaman hayati (kehati) bukan sekadar warisan ekologis, tapi juga fondasi penting bagi ketahanan pangan, energi, dan ekonomi Indonesia.
Namun, di balik klaim “megabiodiversity country”, perlindungan kehati di tingkat daerah masih berjalan setengah hati.
Itu terlihat dari data Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) Kemendagri.
Rata-rata alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025 untuk urusan lingkungan hidup hanya 1,49 persen, atau sekitar Rp20,87 triliun dari total Rp1.399 triliun APBD nasional.
Dari jumlah itu, hanya 18 provinsi yang mencatatkan program khusus untuk kehati.
Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014, kehati masuk sub-urusan lingkungan hidup. Tapi dalam perencanaan dan penganggaran, porsi kehati masih jauh dari prioritas, kata Direktur SUPD I Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Edison, dalam Rakornas Kehati 2025 di Jakarta, lewat rilis yang diterima redaksi, Rabu (1/10/2025).
IBSAP dan Kebutuhan Regulasi
Indonesia sebenarnya sudah punya Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) yang merinci 3 tujuan, 20 target, 9 strategi, dan 95 aksi.
Tapi, dokumen itu belum punya pijakan hukum yang cukup kuat.
Rakornas Kehati 2025 menekankan pentingnya payung hukum berupa peraturan pemerintah atau peraturan presiden agar IBSAP bisa lebih mengikat bagi pemerintah daerah.
Saat ini, indikator Indeks Pengelolaan Kehati (IPKH) bahkan telah ditetapkan sebagai outcome prioritas pembangunan tahun 2025 dalam Permendagri Nomor 12 Tahun 2024 tentang Pedoman RKPD.
- Iklan Google -
Artinya, kehati bukan sekadar jargon, tapi mestinya masuk ke logika pembangunan daerah.
Tantangan Nyata: Sawit, Satwa, dan Krisis Ekosistem
Di lapangan, tekanan terhadap kehati tidak surut.
Laporan Rakornas mencatat lebih dari 17 juta hektare hutan telah dikonversi, sebagian besar untuk perkebunan kelapa sawit.
Sementara itu, perburuan dan perdagangan satwa liar ilegal masih marak, dari burung kicau hingga satwa dilindungi bernilai tinggi.
Krisis iklim juga memperparah kerentanan. Kebakaran hutan, banjir, dan bencana ekologis lain tak hanya merusak ekosistem, tapi juga mengancam spesies endemik yang hanya hidup di wilayah tertentu.
Selain itu, publik dinilai masih memiliki pemahaman terbatas soal kehati.
Koordinasi antar-stakeholder—mulai dari pemerintah pusat, daerah, akademisi, swasta, LSM, hingga komunitas adat—seringkali berjalan parsial.
Jalan ke Depan: Dari Tapak hingga Kebijakan
Forum Rakornas Kehati 2025 merekomendasikan langkah konkret: memperkuat perlindungan hingga tingkat tapak, mendorong riset di wilayah terpencil, menggandeng komunitas adat sebagai penjaga hutan, hingga mengintegrasikan pemulihan ekosistem pasca-bencana ke dalam perencanaan pembangunan daerah.
Pertanyaannya, apakah pemerintah daerah mampu menjadikan kehati sebagai prioritas nyata di tengah keterbatasan anggaran dan tekanan ekonomi?
Jika tidak, status Indonesia sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia bisa berubah jadi paradoks: kaya biodiversitas di atas kertas, tapi miskin perlindungan di lapangan.
