MEDIAPESAN, Takalar – Seorang remaja asal Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, mengaku menjadi korban penyiksaan oleh enam anggota polisi berpakaian preman dalam insiden yang kini memicu sorotan serius terhadap praktik kekerasan aparat.
Korban, MYS (18 tahun), warga Desa Galesong, mengungkap bahwa pada malam 27 Mei 2025, dirinya diculik, dianiaya, dan ditelanjangi oleh enam pria yang belakangan diidentifikasi sebagai anggota Polrestabes Makassar yang sedang tidak menjalankan tugas resmi.
Mereka menyeret saya ke tempat gelap, memukuli saya, dan terus memaksa saya mengaku kalau saya punya narkoba, ujar MYS dalam kesaksiannya yang didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.
Salah satu dari mereka mengarahkan senjata panjang ke kepala saya dan berkata, ‘Kalau tidak ngaku, kuledakkan senjata ini.’
Kejadian bermula sekitar pukul 22.00 WITA, saat MYS duduk bersama dua temannya di Lapangan Larigau, Galesong.
Enam orang pria bertopeng dan mengenakan helm datang tiba-tiba.
Tanpa menunjukkan identitas resmi, mereka langsung membekuk MYS dan menyatakan diri sebagai polisi.
Mereka bilang, ‘Diam, saya polisi!’ Tapi sikap mereka seperti preman, ujar MYS.
Korban kemudian dibawa ke lokasi gelap, diinterogasi secara kasar, dan dipaksa mengakui memiliki sebungkus tembakau sintetis.
Ia mengaku dipukul berulang kali, dilucuti pakaiannya, dan dipaksa jongkok sambil terus diteror.
Di lokasi kedua, di Jalan Tamasongo, Galesong Utara, MYS kembali diinterogasi.
Kali ini, sebuah pistol berwarna perak diarahkan ke bahunya dan pahanya.
Ia tetap menolak mengaku karena barang tersebut, katanya, bukan miliknya. Namun, penyiksaan terus berlanjut selama beberapa jam.
Menurut kesaksiannya, para pelaku bahkan meminta uang tebusan sebesar Rp15 juta kepada keluarganya agar ia dibebaskan.
Karena tak mampu membayar, MYS akhirnya dilepas pada pukul 04.30 WITA tanpa kejelasan hukum.
Muhammad Ansar dari LBH Makassar menyebut tindakan aparat ini sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Ini adalah pola kekerasan yang terus berulang. Tidak adanya sanksi tegas dari institusi kepolisian dan lemahnya pengawasan internal memperparah situasi, ujarnya.
MYS dan keluarganya mencoba melaporkan kejadian ini ke Polsek Galesong pada 28 Mei, tetapi ditolak.
Mereka malah diminta untuk bertemu langsung dengan salah satu pelaku dalam upaya damai.
Pihak keluarga menolak. Bahkan ketika pelaku menawarkan uang Rp1 juta sebagai “pengganti”, keluarga korban tetap bersikeras menempuh jalur hukum.
Akhirnya, laporan resmi baru diterima oleh Polres Takalar pada tengah malam, setelah dua kali ditolak oleh pihak kepolisian tingkat sektor.
LBH Makassar kini mendesak Komnas HAM untuk turun tangan dan meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan hukum dan psikologis kepada MYS.
Hak-hak korban harus dipenuhi. Kekerasan oleh aparat tidak boleh dibiarkan tanpa pertanggungjawaban, pungkas Ansar.
Hingga berita ini diturunkan, Polrestabes Makassar belum memberikan pernyataan resmi terkait insiden tersebut.
Namun kasus ini kembali membuka luka lama soal lemahnya akuntabilitas di tubuh kepolisian dan maraknya intimidasi terhadap warga sipil.