MEDIAPESAN, Makassar – Di lorong-lorong sempit Bontoduri, sebuah wilayah padat penduduk di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, bau menyengat dari tumpukan sampah rumah tangga kini bukan sekadar gangguan — ia telah menjadi simbol dari ketidakpercayaan yang tumbuh antara warga dan sistem pelayanan publik yang seharusnya melindungi mereka.
Selama lebih dari lima hari, sampah-sampah menggunung di pinggir jalan dan halaman rumah warga RT 05 / RW 07, tanpa adanya pengangkutan dari petugas kebersihan. Namun persoalan ini bukan sekadar soal logistik.
Warga kini menyuarakan dugaan praktik pungutan liar dan tekanan terhadap mereka yang paling rentan secara ekonomi.
Beberapa warga yang ditemui lokasi (20/5/2025), mengaku dipaksa membayar iuran kebersihan oleh oknum Pj. RT, dengan ancaman tidak akan menerima bantuan sosial berupa beras jika tidak menyetor uang tersebut.
Katanya kalau tidak bayar, tidak dapat beras, tutur seorang ibu rumah tangga yang meminta identitasnya dirahasiakan. Saya bayar Rp25.000, tapi sampai sekarang sampah saya belum juga diangkut.
Warga lain mengungkapkan bahwa praktik semacam ini bukan hal baru, namun kini menjadi sorotan karena lingkungan makin tidak nyaman akibat sampah yang menumpuk dan membusuk.
Sudah lima hari tidak ada pengangkutan. Kalau memang wajib bayar, tolong beri kwitansi. Jangan datang hanya minta uang, ujar seorang tokoh masyarakat setempat.
Permasalahan ini menyingkap celah dalam transparansi pengelolaan sampah.
Menurut Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Sampah, iuran kebersihan harus diklasifikasikan secara jelas, hanya boleh dipungut oleh petugas resmi, dan wajib disertai bukti pembayaran yang sah dari pemerintah kota.
Warga mempertanyakan kejelasan skema retribusi dan mendesak agar pemerintah menjelaskan secara terbuka dasar hukum dan mekanisme iuran tersebut.
Kalau resmi, mana aturannya? Mana tanda terimanya? Jangan terus rakyat yang dirugikan dan diintimidasi, kata warga lainnya dengan nada geram.
Janji kampanye Wali Kota Makassar, yang menegaskan akan menyediakan layanan pengangkutan sampah gratis bagi warga miskin dan penerima bantuan sosial, kini juga disorot.
Banyak yang menilai janji itu belum benar-benar diwujudkan — bahkan justru diduga dijadikan alat tekanan oleh oknum tertentu.
Dulu katanya gratis. Sekarang kami dipaksa bayar. Kalau tidak, tidak dapat bantuan. Ini bukan bantuan, ini pemerasan, ungkap seorang penerima bantuan sosial.
Warga juga merasa tidak memiliki saluran pengaduan yang aman dan efektif.
Ketakutan akan dicoret dari daftar penerima bantuan membuat banyak dari mereka memilih diam.
Kami takut mengadu. Nanti malah tidak dapat bantuan, ujar seorang ibu lansia dengan suara lirih.
Di sisi lain, kondisi lingkungan yang memburuk mulai menimbulkan risiko kesehatan, bau busuk dan lalat mulai mengganggu.
Saluran air yang tersumbat sampah meningkatkan kekhawatiran akan penyebaran penyakit.
Lalat sudah banyak, baunya menyengat. Jangan sampai muncul penyakit dari sini, kata warga lainnya.
Desakan kini menguat agar Pemkot Makassar segera turun tangan.
Warga menuntut penindakan terhadap oknum yang memungut liar, kejelasan kebijakan retribusi, serta realisasi janji layanan gratis bagi kelompok rentan.
Janji kampanye dulu manis sekali. Sekarang rakyat kecil yang dibebani. Kami minta wali kota turun langsung lihat kondisi di lapangan, tegas seorang pemuda dari RT 05.
Sebagai bentuk protes, warga mengancam akan membawa sampah ke kantor kelurahan jika dalam waktu dekat tidak ada kejelasan.
Kami sudah cukup bersabar. Ini hak dasar kami. Jangan lagi rakyat kecil yang jadi korban, pungkas seorang warga dengan tegas.
Tumpukan sampah ini menjadi pengingat bahwa modernisasi kota tidak boleh meninggalkan warga di pinggiran — mereka yang seharusnya menjadi penerima pertama dari janji-janji keadilan sosial dan layanan dasar yang manusiawi.