MEDIAPESAN, Bone, Sulawesi Selatan – Aktivitas tambang pasir ilegal di Kabupaten Bone telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang serius dan keresahan warga.
Dua desa terdampak, Nagauleng (Kecamatan Cenrana) dan Lea (Kecamatan Tellusiattinge), kini menjadi sorotan tajam, menyusul laporan investigatif dari LSM Inakor Sulsel yang menuding adanya pembiaran sistematis oleh aparat dan pemerintah setempat.
Dalam investigasi lapangan yang dilakukan pada 25 April 2025, Inakor menemukan dampak-dampak signifikan yang ditimbulkan aktivitas penambangan liar tersebut:
- Abrasi berat yang menggerus bantaran sungai hingga mengancam permukiman warga — salah satunya sebuah rumah di Desa Lea yang nyaris roboh.
- Kerusakan ekosistem sungai dan daerah aliran sungai (DAS) secara permanen.
- Gangguan sumber mata air dan peningkatan risiko bencana seperti banjir dan longsor.
- Pencemaran udara dan suara, serta kerusakan jalan akibat lalu lintas kendaraan tambang.
Rumah warga hampir ambruk, tapi tak ada satu pun tindakan dari pemerintah desa, kecamatan, maupun aparat hukum. Ini bukan sekadar kelalaian. Ini dugaan pembiaran yang disengaja, ujar Asri, Ketua DPW Inakor Sulsel, dalam wawancara via sambungan telepon (14 Juni).

Pelanggaran hukum — dan sistem yang memilih diam
Inakor menegaskan bahwa aktivitas tambang ini tidak hanya tidak berizin, tetapi juga melanggar sejumlah regulasi penting:
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mewajibkan IUP dan dokumen lingkungan.
- UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, jika kegiatan berada di luar zona tambang RTRW.
- PP No. 22 Tahun 2021, khususnya soal ketentuan Amdal atau UKL-UPL.
Namun sorotan utama justru tertuju pada institusi penegak hukum dan pemerintahan lokal yang dinilai gagal bertindak.
Aktivitas tambang ini terjadi terang-terangan, bahkan malam hari. Sulit membayangkan pihak berwenang tidak mengetahuinya, kata Asri.
Proses hukum lamban, publik bertanya: di mana keadilan?
Inakor menyatakan bahwa laporan resmi sudah dilayangkan sejak awal 2024, namun respons dari kepolisian baru muncul setahun kemudian:
- Laporan Informasi Nomor: R/LI–19/II/RES.5.5/2025, tertanggal 17 Februari 2024.
- Surat Perintah Penyelidikan: SP.Lidik/157/III/RES.5.5/2025, baru dikeluarkan pada 17 Februari 2025.
Mengapa butuh satu tahun untuk beralih dari laporan ke perintah penyelidikan? Ini bukan hanya lambat, tapi mencerminkan tidak adanya sense of urgency terhadap keselamatan warga, tambah Asri.
Seruan untuk bertindak: dari BBWS hingga Gakkum KLHK
Inakor kini mendesak sejumlah lembaga untuk segera turun tangan:
- Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang, untuk mengevaluasi perubahan struktur sungai dan kerusakan bantaran.
- Gakkum KLHK, agar menyegel tambang ilegal, menjatuhkan sanksi, dan memulai pemulihan lingkungan.
- Polres Bone dan Polda Sulsel, untuk mengusut pelaku tambang dan mengungkap keterlibatan oknum aparat.
Inakor juga menyerukan partisipasi aktif dari media dan masyarakat untuk terus mengawal isu ini.
Keadilan lingkungan dan hak konstitusional yang terancam
Di balik tumpukan pasir dan debu tambang, ada hak konstitusional warga yang terabaikan.
Inakor menekankan bahwa keselamatan masyarakat dan kualitas lingkungan hidup adalah bagian dari hak asasi manusia yang dijamin Pasal 28H UUD 1945 dan UU Lingkungan Hidup.
Kami mendesak penegakan hukum dilakukan secara tegas, transparan, dan tanpa pandang bulu. Negara tak boleh kalah oleh tambang ilegal, tegas Asri.
Seiring meningkatnya tekanan publik, kasus ini menjadi ujian bagi integritas dan keberpihakan institusi negara.
Apakah mereka akan bertindak melindungi rakyat dan lingkungan — atau tetap diam, membiarkan tanah dan air dirampas secara perlahan?