MEDIAPESAN, Sengkang – Meningkatnya jumlah rumah karaoke di kota Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, memicu kekhawatiran dari para tokoh agama setempat yang melihat tren ini sebagai ancaman terhadap identitas religius wilayah tersebut.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wajo, Dr. KH. Muh. Yunus Pasanreseng, beberapa waktu lalu (20/5) kepada awak media menyatakan keprihatinannya atas maraknya tempat hiburan malam di wilayah yang dikenal luas sebagai pusat pendidikan Islam ini.
Wajo dikenal sebagai kota santri — tempat lahirnya para ulama dan penghafal Al-Qur’an. Maraknya rumah karaoke bisa mencoreng reputasi itu, ujar Kiai Yunus di kantornya di Jalan Mesjid Raya, Kelurahan Sengkang.
Ia mendesak pemerintah daerah untuk mengevaluasi izin operasional rumah karaoke yang kerap kali, menurutnya, melanggar aturan jam operasional dan membuka celah bagi perbuatan maksiat.
Kalau izin operasional hanya sampai jam tertentu, tapi kenyataannya melebihi batas, itu sangat rentan menimbulkan kemungkaran. Ini bukan semata soal hiburan — ini soal menjaga moral masyarakat, tegasnya.
Isu ini kembali memantik perdebatan lama tentang bagaimana menyeimbangkan pembangunan ekonomi, kebebasan berekspresi, dan nilai-nilai keagamaan di daerah-daerah konservatif di Indonesia.
Wajo, yang dikenal sebagai penghasil Hafidz Qur’an terbanyak di Sulawesi Selatan, sering dijadikan panutan dalam bidang pendidikan agama Islam.
Dalam pernyataannya yang sarat dengan pesan moral dan ajakan kolaborasi, Kiai Yunus mengutip Al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 104 sebagai landasan sikap MUI:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, kutipnya. Inilah yang menjadi dasar kami di MUI bersama ormas-ormas Islam untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam menjaga moral daerah ini.
Kekhawatiran MUI Wajo mencerminkan keresahan yang lebih luas di kalangan ulama Indonesia terhadap dampak urbanisasi cepat dan perubahan nilai-nilai sosial.
Meski sebagian masyarakat menganggap karaoke sebagai bagian dari budaya hiburan modern, sebagian lainnya melihatnya sebagai potensi ancaman terhadap tatanan moral lokal jika tidak diawasi secara ketat.
Kiai Yunus menegaskan bahwa seruannya bukan bentuk penolakan terhadap hiburan, melainkan upaya mempertahankan jati diri Wajo sebagai kota religius.
Kami berharap Wajo dapat diselamatkan dari pengaruh negatif hiburan malam dan tetap menjadi kota yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, pungkasnya.
Pemerintah daerah kini menghadapi tekanan untuk meninjau ulang kebijakan hiburan malam, di tengah dilema antara pelestarian budaya dan tuntutan modernisasi di wilayah yang telah lama dibentuk oleh nilai-nilai keislaman yang kuat. ***