Enrekang | Mediapesan – Sejumlah warga Kabupaten Enrekang menyampaikan keresahan atas kebijakan Dinas Kesehatan yang melarang tenaga bidan melakukan pelayanan persalinan di Puskesmas Pembantu (Pustu).
Aturan baru itu mengharuskan seluruh proses persalinan dialihkan ke Puskesmas tingkat kecamatan.
HS, seorang warga Kecamatan Enrekang, menilai kebijakan tersebut memberatkan.
Ia mencontohkan, warga desa kini harus menyiapkan biaya tambahan untuk transportasi menuju Puskesmas, padahal sebelumnya cukup dilayani di Pustu.
Sebelum ada aturan baru, pelayanan kesehatan di desa terasa lebih dekat. Sekarang, pemerintah justru menjauhkan layanan dari masyarakat, ujarnya kepada wartawan, Senin (28/8).
Menurut HS, kebijakan itu juga terasa janggal.
Pasalnya, bidan yang membantu persalinan di Puskesmas tetap berasal dari Pustu.
Buat apa warga jauh-jauh dibawa ke Puskesmas, kalau yang menangani persalinan adalah bidan Pustu juga, kata dia.
Keresahan serupa muncul di beberapa kecamatan lain.
Warga menilai, selain menambah ongkos, kebijakan itu berisiko menghambat akses layanan darurat bagi ibu hamil yang harus segera ditangani.
- Iklan Google -
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Enrekang, Sabir, saat dikonfirmasi, menjelaskan bahwa aturan itu merupakan kebijakan nasional dari Kementerian Kesehatan.
Ini bagian dari transformasi layanan kesehatan primer. Kemenkes menghendaki persalinan sesuai standar, dengan sarana dan prasarana memadai. Itu sebabnya difokuskan di Puskesmas, ujar Sabir.
Ia menekankan, Puskesmas memiliki standar kompetensi lebih luas dibanding Pustu atau Poskesdes.
Ada 144 penyakit yang menjadi kompetensi Puskesmas. Kalau kasus di luar kemampuan Puskesmas, barulah dirujuk ke RSUD Massenrenpulu, kata Sabir.
Menurut Sabir, kemampuan tenaga dan fasilitas Pustu memang terbatas.
Bidan desa bisa membantu pelayanan dasar, namun dokter Puskesmas tak mungkin ditugaskan turun ke Pustu untuk setiap kebutuhan.
Karena itu, integrasi layanan primer diarahkan mulai dari Puskesmas hingga Posyandu. Semua harus tersambung, ujarnya.
Meski begitu, kritik masyarakat tetap mengemuka.
Warga berharap pemerintah kabupaten maupun pusat meninjau ulang kebijakan ini dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan kemampuan ekonomi masyarakat pedesaan.
Kami butuh pelayanan yang dekat dan terjangkau. Jangan sampai kebijakan bagus di atas kertas, tapi menyulitkan di lapangan, kata HS.