MEDIAPESAN, Jakarta – Seorang tokoh pers nasional menuding Kepolisian Resor (Polres) Blora, Jawa Tengah, terlibat dalam kolusi dengan jaringan mafia bahan bakar bersubsidi, menyusul penangkapan tiga wartawan yang dituduh melakukan pemerasan terhadap seorang oknum anggota TNI.
Wilson Lalengke, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), menyatakan penangkapan terhadap tiga jurnalis yang dikenal sebagai “Denok dkk.” merupakan bentuk kriminalisasi terhadap profesi wartawan dan upaya sistematis untuk menutupi praktik penimbunan dan distribusi ilegal BBM jenis solar bersubsidi di wilayah Blora.
Ini bukan kasus pemerasan biasa, ujar Lalengke dalam pernyataannya yang disebarluaskan ke jejaring media nasional pada Sabtu (31/5). Yang terjadi adalah transaksi ilegal di mana seorang anggota TNI—yang sedang dalam penyelidikan militer atas dugaan kejahatan migas—menawarkan uang kepada wartawan agar berita tentang dirinya dihapus. Itu bukan pemerasan, tapi lebih tepat disebut suap, bahkan bisa masuk kategori korupsi.
Berita yang dimaksud—dan belakangan diminta untuk dihapus oleh pihak terkait—berjudul “Heboh! Dugaan Mafia BBM Subsidi Libatkan Oknum Anggota TNI Korem di Kabupaten Blora” dan dipublikasikan pada 22 Mei lalu di situs Portal Indonesia News.
Delik yang Terabaikan
Lalengke, alumnus Lemhannas RI dan lulusan pascasarjana etika terapan dari Universitas Utrecht (Belanda) dan Universitas Linköping (Swedia), menekankan bahwa upaya oknum TNI untuk menyuap wartawan demi menghentikan penyebaran berita merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Pasal 18 ayat (1) menyatakan dengan tegas: siapa pun yang menghalangi kerja pers dapat dipidana hingga dua tahun atau didenda setengah miliar rupiah, tegasnya. Namun Polres Blora justru menangkapi penerima uang dan membiarkan si pemberi—yang jelas punya niat jahat dan sedang dalam masalah hukum.
Ia menyebut setidaknya tiga undang-undang yang berpotensi dilanggar oleh oknum bernama Rico tersebut: Undang-Undang Migas, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Pers. Namun, hingga kini tak ada proses hukum yang diarahkan kepada Rico.
Antara Etika dan Kriminalisasi
Lalengke mengakui bahwa tindakan wartawan yang menerima uang untuk menghapus berita melanggar kode etik jurnalistik, namun menegaskan bahwa pelanggaran seperti itu harus ditangani melalui mekanisme organisasi profesi, bukan melalui kriminalisasi oleh aparat.
Pelanggaran kode etik adalah urusan dewan kehormatan pers, bukan perkara pidana, ujarnya. Fakta bahwa berita sudah tayang menunjukkan mereka menjalankan fungsi kontrol. Ketika pihak yang diberitakan kemudian menawarkan uang untuk menghapus berita, justru itulah yang melanggar hukum.
Ia mengutip Pasal 18 ayat (1) UU Pers No. 40 Tahun 1999 yang menjamin perlindungan hukum bagi wartawan dalam menjalankan profesinya.
Pasal 18 ayat (1) itu menyatakan bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
Pasal 4 ayat (2) yang dirujuk oleh Pasal 18 ayat (1) di atas menegaskan bahwa “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran”.
Menurut Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Pers ini dinyatakan dengan tegas bahwa “Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.”
Dari sisi jurnalistik saja, oknum pelanggar UU Migas atas nama Rico sudah patut diseret ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Pers yang ancaman pidananya jelas tertulis dalam perundangan itu.
Oleh karenanya, seorang Kapolres yang cerdas dan memiliki nurani-keadilan dalam dirinya semestinya tidak gegabah melakukan penindakan hanya terhadap penerima suap, dan mengabaikan si penyuap yang jelas-jelas memiliki niat jahat (mens rea) dalam kasus tersebut.
Saya tidak mengatakan bahwa Kapolres Blora harus menindak oknum anggota TNI karena memang bukan kewenangan Polri. Namun, sang Kapolres juga harus mengingat bahwa si penyuap adalah pelaku tindak pidana alias seorang terduga kriminal sehingga ‘keadilan’ dapat dia sajikan kepada para pihak yang terlibat, tidak hanya melakukan tugasnya menangkap dan memenjarakan warga sipil tanpa melihat latar belakang peristiwa secara utuh, tutur Wilson Lalengke.
Menurutnya, insiden ini lebih menyerupai jebakan atau sting operation untuk menjatuhkan para jurnalis yang sedang menggali praktik kejahatan BBM di lapangan.
Seruan untuk Reformasi Polri
Dalam pernyataan penutupnya, Lalengke menyerukan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk melakukan reformasi internal dalam tubuh kepolisian.
Saya tidak menyuruh Kapolres menangkap anggota TNI—itu memang bukan wewenangnya. Tapi kalau polisi sampai bersikap seolah menjadi pelindung mafia migas, ini bahaya besar bagi bangsa, katanya. Sebelum masa jabatan Anda berakhir, tinggalkanlah warisan keadilan bagi dunia pers nasional.
Jangan biarkan institusi kepolisian dipakai sebagai alat oleh pelaku kriminal yang justru merugikan negara ini, pungkas Lalengke.