Mediapesan – Di era digital sekarang, kita nyaris tak bisa membayangkan warung kopi tanpa sambungan WiFi.
Di banyak sudut kota di Indonesia, tampak papan bertuliskan “WiFi Gratis” menjadi daya tarik tersendiri.
Strategi sederhana, namun efektif: memberi sesuatu secara cuma-cuma untuk menarik pelanggan.
Namun, jauh sebelum sinyal internet jadi kebutuhan pokok, warung kopi punya cara lain yang tak kalah cerdas dalam memikat pengunjungnya.
Di Banda Aceh pada tahun 1980-an, para pengusaha warung kopi punya jurus marketing yang kini bisa dibilang visioner — menyediakan hiburan film gratis lewat pemutaran video kaset.
Harian Berita Yudha edisi 15 September 1983 mencatat fenomena ini: warung-warung kopi di sekitar kota Banda Aceh ramai memasang pemutar video kaset yang menayangkan film-film populer bagi para tamu mereka.
Hiburan ini disajikan tanpa biaya tambahan — cukup pesan kopi atau makanan ringan, dan pengunjung bisa menikmati tontonan layaknya di bioskop kecil.
Para pemilik warung menyadari satu hal: hiburan adalah magnet sosial.
Kala itu, menonton film di bioskop masih menjadi kemewahan, terutama bagi masyarakat kelas pekerja.
Maka, menghadirkan “bioskop mini” di warung kopi menjadi strategi yang cerdas sekaligus inklusif — membuat pelanggan betah, menambah omset, dan menjadikan warung sebagai ruang berkumpul yang hidup.
- Iklan Google -
Kini, empat dekade berselang, strategi itu berevolusi.
Film layar tancap berganti layar ponsel, dan pemutar video kaset berganti dengan jaringan WiFi.
Namun esensinya tetap sama — “gratisan” sebagai perekat interaksi dan daya tarik bisnis.
Di balik secangkir kopi dan koneksi internet, ada kesinambungan sejarah kecil tentang bagaimana warung kopi selalu tahu cara memahami zaman.
Dari video kaset di tahun 1983 hingga WiFi di tahun 2025, mereka tetap menjadi ruang publik yang tak sekadar menjual minuman — tetapi juga menghadirkan pengalaman bersama.



