Tari Pa’bitte Passapu: Kritik Sosial dari Kajang Le’leng

Reporter Burung Hantu
Tari Pa’bitte Passapu Kajang Le’leng. (mediapesan/luk)

Makassar | Mediapesan – Di tengah hutan adat Kajang Le’leng, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, masyarakat masih mempertahankan berbagai bentuk seni dan tradisi yang sarat nilai moral.

Salah satunya adalah Tari Pa’bitte Passapu, sebuah kesenian khas yang tumbuh dari komunitas adat Ammatowa.

Tarian ini kerap dipentaskan dalam dua momentum penting: sebagai bagian dari ritual penghormatan kepada tamu, serta dalam upacara pernikahan.

- Iklan Google -
Mediapesan.com terdaftar di LPSE dan E-Katalog Klik gambar untuk melihat Katalog kami.

Namun, di balik gerak dan simbol yang ditampilkan, Pa’bitte Passapu menyimpan pesan sosial yang kuat.

Jejak Legenda Sawerigading

Asal-usul tarian ini dikaitkan dengan kisah epik Sawerigading—tokoh utama dalam mitologi Bugis—yang pernah terlibat dalam persabungan ayam melawan putranya sendiri, Ilagaligo.

Dari cerita itu, tercermin ironi: sebuah hubungan darah yang terbelah karena pertaruhan.

Jasa Pembuatan Website Berita
Jasa Website Jogja

Gerak dalam Pa’bitte Passapu seakan menirukan ketegangan persabungan ayam.

Namun, menurut para tetua adat Kajang, makna sebenarnya justru berbeda: tarian ini adalah kritik terhadap orang-orang yang terlalu larut dalam dunia sabung ayam, hingga lupa nilai kehidupan yang lebih hakiki.

Sindiran untuk Mereka yang Lalai

Di panggung pernikahan maupun upacara adat, pesan itu disampaikan secara halus: siapa pun yang menghabiskan hidup hanya untuk berjudi dan mencari kemenangan semu, sejatinya sedang menuju kekalahan.

- Iklan Google -

Dalam bahasa masyarakat Kajang, kemenangan yang dicapai dengan kecurangan tak lebih dari kegagalan yang ditutupi.

Di titik ini, Pa’bitte Passapu berfungsi sebagai cermin sosial.

Ia bukan sekadar hiburan, tetapi medium sindiran kolektif yang mengingatkan agar etika, aturan, dan moralitas dijunjung tinggi.

Baca Juga:  Satu Dekade Taiwan Excellence Happy Run 2025: Lebih dari Sekadar Lomba Lari

Siri’ sebagai Pondasi Nilai

Selain kritik, tarian ini juga mempertegas etos budaya Bugis-Makassar dan Kajang.

Nilai itu disebut Siri’, yakni kehormatan, harga diri, dan rasa malu yang melekat kuat pada komunitas adat Ammatowa.

Siri’ bukan sekadar simbol, melainkan prinsip hidup yang jika dilanggar, menuntut penyelesaian tegas bahkan dengan pertumpahan darah.

Karena itulah, Pa’bitte Passapu bukan sekadar tarian ritual.

Ia adalah pesan moral yang ditransmisikan lintas generasi, mengingatkan bahwa kehidupan manusia harus dilandasi aturan, etika, dan rasa hormat.

Seni yang Menjadi Kritik

Dalam dunia modern, Pa’bitte Passapu tetap relevan. Ia menunjukkan bagaimana seni tradisi tidak hanya berfungsi sebagai penghibur, tetapi juga sebagai kanal kritik sosial.

Dengan gaya simbolik, masyarakat Kajang Le’leng menegaskan sikapnya terhadap praktik yang dianggap merusak tatanan.

Di saat banyak tradisi mulai kehilangan relevansi, Pa’bitte Passapu justru memperlihatkan kekuatan lain: bahwa seni dapat menjadi medium untuk menyampaikan kritik, moralitas, dan identitas budaya.

(luk)

Bagikan Berita Ini
Tinggalkan Ulasan

Tinggalkan Ulasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *