mediapesan.com | “Dirty Vote,” sebuah film dokumenter yang meruntuhkan tirai tersembunyi kebobrokan sistem demokrasi Indonesia, tiba dengan ledakan kebenaran yang memilukan.
Disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono, film ini bukanlah sekadar tontonan biasa; ia adalah cermin pahit yang memantulkan manipulasi politik dan kecurangan jelang Pemilu 14 Pebruari 2024.
Dalam durasi 1,5 jam, “Dirty Vote” menggali ke dalam lubang hitam sistem politik Indonesia, diwarnai oleh wajah-wajah pakar hukum tata negara terkemuka. Dr. Bivitri Susanti, Dr. Feri Amsari, dan Dr. Zainal Arifin Mochtar, dengan penuh tajam mengungkap kelemahan-kelemahan yang merajalela, manipulasi politik, dan serangkaian kecurangan dalam sistem pemilihan.
Tujuan film ini jelas: membangkitkan kesadaran publik akan krisis fundamental yang melanda demokrasi dan Pemilu di Indonesia.
Namun, apakah kita siap menghadapi kenyataan bahwa manipulasi politik, penyalahgunaan kekuasaan, dan rekayasa birokrasi telah menjadi bagian dari ‘normalitas’ politik kita?
Film ini dengan tajam membongkar potret gelap yang melingkupi demokrasi dan Pemilu.
Data penyelewengan dana desa dan bantuan sosial yang digunakan sebagai alat untuk meraih suara, bukan untuk kesejahteraan rakyat, memanggil kita untuk bangkit.
Pejabat yang memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye, lembaga pengawas yang terikat pada kepentingan politik tertentu, dan konflik kepentingan di antara elit politik, semuanya terungkap dalam sinematografi yang menggugah.
Dalam “Dirty Vote,” kesaksian tentang mobilisasi massal oleh kepala desa, bantuan sosial yang disalahgunakan, dan keterlibatan menteri dalam kampanye politik menggambarkan lukisan keterpurukan yang menyelimuti demokrasi kita.
Film ini tidak hanya menyajikan fakta, tetapi juga mengekspos luka-luka yang dalam dalam jantung sistem politik kita.
Dari penunjukan jabatan hingga pelanggaran netralitas, dari manipulasi penggunaan bantuan sosial hingga intimidasi terhadap kepala desa, semuanya dihadirkan dengan ketajaman yang memilukan.
Dengan jujur dan tajam, “Dirty Vote“ memaksa kita untuk menghadapi cermin kebobrokan yang telah lama kita abaikan.
Pertanyaannya sekarang, apakah kita siap untuk bertindak? Apakah kita bersedia mengubah paradigma politik kita? Atau apakah kita akan tetap terjebak dalam siklus kebusukan yang terus-menerus? Sementara waktu berjalan, jawabannya ada pada kita. ***