Makassar (mediapesan) – Dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh seorang anggota kepolisian di Polrestabes Makassar kembali mencuat, Sabtu (1/2/2025).
TR, seorang ibu, dengan tegas menuntut keadilan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh IPDA MYY, yang diduga telah menelantarkan anak hasil pernikahan sirinya.
Kasus ini sebelumnya telah dilimpahkan ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Bid Propam) Polda Sulawesi Selatan.
TR pun bertekad membawa masalah ini ke tingkat nasional dengan melaporkannya ke Kapolri, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), serta Komnas Perempuan dan Anak.
Pelanggaraan Kode Etik dan Hukum
Menurut Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri, setiap anggota kepolisian harus menjunjung tinggi integritas dan profesionalisme.
Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menegaskan bahwa aparat kepolisian memiliki tanggung jawab moral dan etika, termasuk dalam kehidupan pribadi mereka.
Namun, IPDA MYY diduga melanggar ketentuan ini dengan melakukan pernikahan siri, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Selain itu, dugaan penelantaran anak yang dilakukan juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang mewajibkan setiap orang tua untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar anak.
Kondisi Anak yang Memprihatinkan
TR mengungkapkan bahwa anaknya sempat dirawat di ruang NICU/ICCU Rumah Sakit Bhayangkara Makassar dalam kondisi kritis akibat gangguan ginjal.
Namun, pada 30 Januari 2025, dokter memutuskan untuk memperbolehkan anaknya pulang meskipun kondisinya masih lemah.
Kaki anak saya masih bengkak, tapi dokter sudah menyuruh pulang. Saya khawatir kondisinya memburuk jika tidak mendapatkan perawatan maksimal, ujar TR.
Ia juga mempertanyakan pernyataan pihak rumah sakit yang menyinggung besarnya biaya perawatan jika anaknya terus dirawat.
Anak saya masuk sebagai pasien umum, bukan tanggungan pemerintah, tapi seolah dipaksa keluar karena biaya, jelasnya.
Untuk melunasi biaya rumah sakit, TR akhirnya terpaksa meminjam uang.
Tanpa bantuan mereka, saya tidak tahu bagaimana harus membayar biaya perawatan yang cukup besar, ungkapnya.
Upaya Mencari Keadilan
TR menegaskan bahwa ia akan memenuhi panggilan pemeriksaan di Propam Polda Sulsel sebelum melanjutkan laporannya ke tingkat yang lebih tinggi.
Kita tunggu dulu hasil pemeriksaan di Polda Sulsel. Saya berharap media bisa terus mengawal kasus ini, karena saya hanya seorang ibu yang berjuang sendiri demi anak saya, tegasnya.
Ia juga menyampaikan pesan yang menyentuh hati.
Mantan istri itu ada, tapi mantan anak itu tidak ada. Seragam MYY itu adalah abdi masyarakat, tapi abdi untuk anak sendiri justru tidak ada, ujar TR dengan penuh emosi.
Pengamat: Evaluasi Institusi Polri Diperlukan
Menanggapi kasus ini, Jupri, seorang pengamat sosial, menilai bahwa kejadian ini harus menjadi bahan evaluasi serius bagi institusi kepolisian.
Ini bukan sekadar persoalan rumah tangga, tapi menyangkut integritas seorang aparat negara. Jika benar ada unsur penelantaran anak, maka ini bisa mencoreng nama baik kepolisian, kata Jupri.
Ia juga menekankan pentingnya transparansi dalam penegakan kode etik Polri.
Polisi harus membuktikan bahwa mereka tidak tebang pilih dalam menegakkan aturan. Jika ada pelanggaran, harus ada sanksi tegas, tambahnya.
Jupri pun mengapresiasi keberanian TR dalam membawa kasus ini ke tingkat nasional.
Perjuangan seorang ibu seperti TR harus mendapat dukungan. Ini bukan hanya soal hukum, tapi juga keadilan bagi anak yang seharusnya mendapatkan haknya secara layak, pungkasnya.
Kasus ini kini menjadi sorotan publik, dan masyarakat menanti bagaimana kepolisian akan menangani dugaan pelanggaran etik dan hukum yang melibatkan salah satu anggotanya. ***