MEDIAPESAN – Sebuah sengketa hukum di Makassar berubah menjadi perdebatan nasional mengenai kebebasan profesi advokat, setelah Wawan Nur Rewa, S.H., dilaporkan secara pidana karena mengungkap dugaan pengalihan tanah secara tidak sah—yang kini menjadi lokasi berdirinya gedung mewah AAS Building.
Pernyataan tersebut disampaikan Rewa dalam kapasitasnya sebagai kuasa hukum ahli waris tanah dalam konferensi pers pada 15 April 2025 lalu.
Ia mengklaim bahwa aset milik kliennya telah dialihkan tanpa dasar hukum yang sah, dan kini menjadi lokasi pusat komersial prestisius.
Tak lama kemudian, ia dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik melalui media elektronik oleh seseorang berinisial AB—yang diketahui merupakan kuasa hukum dari pihak AAS Building.
Namun laporan ini memicu kritik keras dari kalangan hukum.
Banyak yang menilai bahwa laporan tersebut merupakan bentuk kriminalisasi terhadap profesi advokat, dan menciptakan preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia.
Ini adalah bentuk ancaman terhadap advokat yang menjalankan tugas profesionalnya. Bila dibiarkan, setiap advokat bisa saja dikriminalisasi hanya karena membela kepentingan rakyat, ujar Jumadi Mansyur, S.H., seorang pengacara muda dan Ketua Bidang Organisasi dan Pengembangan SDM HAPI Sulsel.
Jumadi menekankan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, advokat memiliki hak imunitas sebagaimana dijamin oleh UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 26/PUU-XI/2013.
Menurutnya, pernyataan Wawan masih dalam batas tugas profesinya sebagai pembela hukum.
Yang semakin menyorot perhatian publik adalah temuan bahwa AAS Building—berdasarkan informasi publik yang tersedia melalui pencarian daring—terafiliasi dengan seorang Menteri aktif yang berasal dari Sulawesi Selatan.
Dugaan keterlibatan pejabat tinggi ini memunculkan spekulasi tentang adanya intervensi kekuasaan dalam proses hukum.
Pelaporan ini tidak hanya mencederai profesi hukum, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran akan tekanan politik dalam proses penegakan keadilan, tambah Jumadi.
Selain mengkritik pelapor, yang disebut juga berlatar belakang hukum, Jumadi mempertanyakan etika profesi jika sesama kuasa hukum saling melaporkan hanya karena perbedaan posisi hukum.
Jika ini dibiarkan, maka independensi profesi advokat di Indonesia berada di ambang krisis, katanya.
Polisi juga menjadi sasaran kritik dalam kasus ini.
Langkah cepat Polrestabes Makassar menindaklanjuti laporan tanpa terlebih dahulu menelaah konteks dan substansi profesional dari pernyataan Wawan dianggap tergesa-gesa.
Aparat penegak hukum harusnya bersikap cermat dan tidak serta-merta memproses laporan yang menyasar tugas profesional seorang advokat. Jika tidak, publik akan melihat bahwa hukum bisa dimobilisasi untuk membungkam pembela rakyat kecil, pungkas Jumadi.
Seiring berjalannya proses hukum, kasus ini kini menjadi simbol dari pertarungan yang lebih besar antara supremasi hukum, kebebasan profesi advokat, dan bayang-bayang kekuasaan dalam sistem hukum Indonesia. ***