Kejari Makassar Laksanakan Tahap II Kasus Kekerasan Seksual Anak, PBH PERADI: Keadilan Jangan Digantung

Reporter Burung Hantu
Tim Task Force PBH PERADI Makassar bersama pendamping sosial menegaskan komitmen mengawal kasus kekerasan seksual anak di Makassar, Jumat (5/9/2025).

Penyerahan fisik berkas dan terdakwa dijadwalkan Selasa mendatang, korban disebut alami trauma mendalam dan kehilangan tempat tinggal.

 

Makassar | Mediapesan – Perkembangan terbaru kasus kekerasan seksual terhadap anak usia 6 tahun di Makassar mendapat perhatian publik setelah tersorot sejumlah media daring pada Kamis (4/9/2025).

Kejaksaan Negeri (Kejari) Makassar akhirnya melaksanakan tahap II atau pelimpahan berkas perkara dari penyidik, Kamis siang pukul 11.00 WITA.

- Iklan Google -

Proses tersebut dilakukan secara daring melalui Zoom Meeting.

Adapun penyerahan fisik berkas perkara beserta terdakwa dijadwalkan berlangsung pada Selasa (9/9/2025).

Tim Task Force Perlindungan Perempuan dan Anak PBH PERADI Makassar menyambut baik langkah ini.

Jasa Pembuatan Website Berita
Jasa Website Jogja

Namun, mereka menegaskan bahwa kepastian hukum bagi korban harus tetap menjadi prioritas utama dan tidak lagi ditunda-tunda.

Kami mengapresiasi Kejaksaan dan penyidik yang akhirnya melaksanakan tahap II, meskipun melalui Zoom. Tetapi penyerahan berkas dan terdakwa pada Selasa nanti harus benar-benar berjalan sesuai jadwal tanpa ada lagi penundaan. Keadilan bagi korban jangan digantung, kata Agus Salim, S.H., perwakilan Tim Hukum Task Force PBH PERADI Makassar, Jumat (5/9/2025).

Kasus Berlarut dan Trauma Korban

PBH PERADI menilai kasus ini tidak seharusnya berlarut-larut mengingat korban masih anak-anak yang mengalami trauma berat.

- Iklan Google -

Aparat penegak hukum (APH) diminta bekerja serius menegakkan hukum sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Baca Juga:  Kontroversi di Desa Sawakung Beba: Pemecatan Perangkat dan Dugaan Penyalahgunaan Wewenang

Dalam kasus anak, penundaan justru memperpanjang trauma. Aparat seharusnya menjadikan UU TPKS sebagai rujukan utama tanpa alasan administrasi yang menghambat, ujar Agus.

Kritik Kinerja Aparat Hukum

Sementara itu, pemerhati sosial sekaligus pendamping korban, Jupri, melontarkan kritik keras terhadap lambannya kinerja aparat hukum.

Ia menilai, penundaan pelimpahan berkas justru memperparah penderitaan korban.

Bayangkan, anak usia 6 tahun sudah jadi korban perlakuan tidak senonoh, masih ditambah kasusnya ditunda-tunda. Kok jaksa bisa-bisanya menunda P21? Kalau pelaku sampai bebas karena ulah oknum kejaksaan, ini benar-benar menyakiti korban, tegas Jupri.

Jupri juga mengingatkan bahwa korban kini menghadapi tekanan ganda.

Selain trauma akibat tindak kekerasan seksual, korban dan keluarganya kehilangan tempat tinggal setelah rumah mereka terbakar beberapa waktu lalu.

Ia menambahkan, masyarakat semakin kehilangan kepercayaan terhadap aparat hukum akibat praktik yang dinilai tidak konsisten.

APH jangan tunggu viral baru bertindak. Masyarakat sudah muak karena kasus yang mereka laporkan sering mandek. No viral justice, istilah kerennya. Keadilan seharusnya hadir tanpa harus menunggu tekanan publik, ujarnya.

Komitmen Mengawal

PBH PERADI Makassar bersama sejumlah pemerhati sosial menegaskan akan terus mengawal jalannya kasus ini hingga persidangan.

Mereka mengingatkan, perkara kekerasan seksual terhadap anak adalah lex specialis yang wajib diprioritaskan dan tidak boleh ditangani dengan sikap lalai atau birokratis.

Kasus ini adalah ujian serius bagi aparat penegak hukum. Anak korban membutuhkan kepastian, bukan penundaan,” kata Agus menutup pernyataannya.

(Restu)

Bagikan Berita Ini
Tinggalkan Ulasan

Tinggalkan Ulasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *