Makassar | Mediapesan – Setelah melalui proses panjang dan melelahkan, perjuangan hukum Ishak Hamzah akhirnya berbuah manis.
Pengadilan Negeri Makassar, melalui putusan pra-peradilan bernomor 29/Pid.Pra/2025/PN Makassar, menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap dirinya tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Putusan itu bukan hanya membatalkan status tersangka, tetapi juga menegaskan bahwa penahanan selama 58 hari terhadap Ishak Hamzah dilakukan tanpa dasar hukum yang sah.
Hakim dalam amar putusannya memerintahkan agar seluruh hak pemohon dipulihkan, termasuk harkat, martabat, dan nama baiknya, serta membebankan biaya perkara kepada termohon.
Putusan ini bukan sekadar soal status tersangka, tapi soal bagaimana hukum seharusnya bekerja: dengan hati-hati, berdasarkan fakta, dan tidak terburu-buru, kata Maria Monika Veronika Hayr, S.H., kuasa hukum Ishak Hamzah, kepada wartawan.
Menunggu Keadilan yang Dijalankan
Sekitar sebulan setelah putusan dibacakan, pihak Ishak Hamzah masih menunggu pelaksanaan amar tersebut.
Maria menuturkan bahwa mereka sempat menemui Kabid Propam Polda Sulsel, Kombes Pol Sulham Effendi, untuk memastikan agar putusan pengadilan benar-benar dijalankan.
Dua hari lalu kami datangi Propam Polda Sulsel. Malam harinya, penyidik menghubungi kami dan menyampaikan bahwa SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) telah diterbitkan, sesuai dengan putusan pra-peradilan, ujarnya.
Langkah itu menjadi akhir dari babak pertama perjuangan hukum Ishak Hamzah. Namun, pihak kuasa hukum memastikan perjuangan belum berhenti di sana.
- Iklan Google -
Menuntut Pertanggungjawaban
Maria menegaskan, pihaknya akan melanjutkan upaya hukum berupa tuntutan ganti rugi dan pemulihan nama baik, serta meminta pertanggungjawaban pejabat kepolisian yang dianggap lalai dalam proses penetapan tersangka.
Mereka di antaranya adalah Kanit Tahbang Polrestabes Makassar, Kasat Reskrim Polrestabes Makassar, dan Kabag Wassidik Polda Sulsel.
Penetapan tersangka ini dilakukan tanpa kecermatan dalam gelar perkara, dan itu sudah terbukti lewat putusan pra-peradilan. Harus ada langkah lanjutan agar ada efek jera, supaya kesewenangan serupa tidak terulang, tegas Maria.
Lebih dari Sekadar Kasus Pribadi
Kasus Ishak Hamzah, menurut kuasa hukumnya, tidak hanya menyangkut satu orang, melainkan mencerminkan wajah penegakan hukum di Indonesia.
Tindakan kriminalisasi seperti ini jelas merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Hak klien kami wajib dipulihkan sepenuhnya, tambahnya.
Diketahui, perkara ini bermula ketika Ishak Hamzah dituduh melakukan penyerobotan (Pasal 167 KUHP) dan menggunakan surat palsu (Pasal 263 ayat 2 KUHP).
Sejak saat itu, ia hidup dengan status tersangka tanpa adanya kejelasan hukum, yang berdampak besar pada kehidupan sosial dan reputasinya.
Pada Kamis, 28 Agustus 2025, Pengadilan Negeri Makassar mengabulkan permohonan praperadilan Ishak Hamzah melalui Putusan Praperadilan Nomor 29/Pid.Pra/2025/PN Mks.
Hakim menyatakan bahwa penetapan tersangka oleh penyidik Polrestabes Makassar, Unit Tahbang, tidak sah, cacat hukum, dan batal demi hukum.
Dalam putusan tersebut, Kepolisian Resort Kota Besar Makassar dan Kejaksaan Negeri Makassar sebagai pihak Termohon diperintahkan untuk memulihkan seluruh hak Ishak Hamzah.
Bagi banyak pihak, kasus ini menjadi cermin bahwa mekanisme pra-peradilan masih menjadi satu-satunya jalan untuk menguji kesewenangan aparat penegak hukum.
Namun, sebagaimana yang sering terjadi, keadilan yang diputuskan belum tentu segera dilaksanakan.
Dan dalam kasus Ishak Hamzah, kemenangan di pengadilan hanyalah langkah awal menuju pemulihan yang sebenarnya: keadilan yang dijalankan, bukan hanya diucapkan.