Makassar, 20 Juni 2025 (MEDIAPESAN) – Seorang perempuan korban kekerasan yang tengah memperjuangkan hak asuh anak angkatnya kembali angkat suara terhadap lambannya proses hukum yang ditangani Polsek Tamalate dan institusi perlindungan perempuan di Makassar.
Tanty Rudjito, yang mengalami kekerasan fisik dan pengusiran oleh pasangannya, menyampaikan bahwa laporan yang ia buat sejak Januari 2024 (LP/B/46/I/2024/SPKT/Polsek Tamalate/Polrestabes Makassar/Polda Sulsel) telah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan (P21).
Namun hingga kini belum ada penyerahan tersangka maupun barang bukti ke Kejaksaan Negeri Makassar.
Pelaku masih bebas berkeliaran. Padahal statusnya sudah tersangka dan berkasnya lengkap. Saya lelah. Kalau institusi penegak hukum dan perlindungan perempuan diam, siapa yang akan melindungi kami? ujar Tanty dengan nada tegas dalam pertemuan pers pada 19 Juni.
Kepolisian setempat, khususnya Kanit Reskrim Polsek Tamalate, disebut tak merespons permintaan klarifikasi dari media.
Ketertutupan ini memperkuat kecurigaan publik akan adanya pembiaran atau bahkan dugaan penghambatan terhadap proses hukum.
Lembaga pemerintah daerah yang bertanggung jawab atas perlindungan perempuan dan anak, DP3A Kota Makassar, juga menuai kecaman karena dinilai bungkam dan tidak menunjukkan upaya konkret.
Padahal, kasus ini menyangkut kekerasan terhadap perempuan serta hak anak, isu yang seharusnya menjadi prioritas lembaga tersebut.
Kapolsek Tamalate, Kompol Syarifuddin, S.Sos., M.H., saat dikonfirmasi pada Jumat (20/6), menyatakan bahwa dirinya telah mengambil langkah internal.
Saya sudah perintahkan Kanit Reskrim untuk segera berkoordinasi dengan kejaksaan dan menindaklanjuti proses hukum yang tertunda. Kami tidak ingin muncul kesan pembiaran, ujarnya.
Namun bagi sebagian pihak, langkah tersebut dianggap terlambat.
Jupri, seorang pengamat sosial yang mendampingi Tanty sejak awal kasus, menyebut bahwa ini adalah potret buram dari sistem perlindungan hukum di Indonesia.
Jika negara tak bisa menjamin keselamatan perempuan dan anak, itu kegagalan yang serius. Diamnya aparat dan lemahnya respon DP3A adalah cerminan sistem yang sedang sakit. Sudah saatnya Kapolri hingga Presiden turun tangan langsung, tegasnya.
Desakan publik agar Kanit Reskrim Polsek Tamalate dicopot dan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja DP3A pun mulai bergema, tidak hanya di media, tapi juga di berbagai grup sosial warga yang ikut menyuarakan keprihatinan.
Slogan seperti “Negara Gagal Lindungi Korban Kekerasan” dan “DP3A Tak Berkutik” mulai menyebar luas sebagai bentuk perlawanan masyarakat sipil terhadap ketidakadilan.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan resmi dari Kanit Reskrim Polsek Tamalate maupun DP3A Kota Makassar terkait tuntutan publik atas transparansi dan keadilan dalam kasus ini.