MEDIAPESAN, Medan – Perselisihan hukum antara Dimas Pradifta dan Bank Central Asia (BCA), salah satu bank swasta terbesar di Indonesia, kini memasuki babak baru.
Pradifta menuduh BCA membekukan dana miliknya secara sepihak dan ilegal, tanpa proses hukum yang layak, berdasarkan laporan polisi yang diragukan keabsahannya.
Tim kuasa hukum Pradifta menegaskan bahwa pembekuan tersebut dilakukan tanpa koordinasi atau rekomendasi dari dua lembaga pengawas utama: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Mereka menyebut tindakan BCA sebagai pelanggaran terhadap aturan perbankan nasional serta prinsip-prinsip perlindungan konsumen.
Laporan polisi yang menjadi dasar pembekuan diajukan oleh seseorang bernama Erawan Wijaya dengan mengacu pada Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Namun, laporan tersebut diduga cacat secara administratif—tidak menyertakan nomor surat resmi dan hanya mencantumkan tanggal tulisan tangan—sehingga menimbulkan keraguan serius atas validitasnya.
Hak-hak nasabah telah dijamin dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, ujar Hendry Pakpahan, S.H., kuasa hukum Dimas Pradifta.
Termasuk di antaranya hak atas informasi, perlindungan data pribadi, pelayanan yang baik, dan hak untuk mendapatkan keadilan hukum. Namun dana klien kami dibekukan sepihak oleh BCA tanpa alasan yang jelas, bahkan tidak diberikan akses untuk melihat rekening korannya sendiri.
Tim hukum yang terdiri dari Law Office Octo Simangunsong, S.H. & Associates dan Pakpahan, telah mengajukan laporan resmi ke Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut), menuduh BCA melakukan tindakan di luar batas kewenangannya, bahkan menyebut kemungkinan adanya upaya untuk menguasai dana milik Pradifta.
Menambah polemik, pihak manajemen BCA disebut tak pernah secara langsung menemui tim kuasa hukum Pradifta.
Seluruh komunikasi hanya dilakukan melalui divisi hukum internal bank, sebuah pendekatan yang dinilai menutup ruang dialog terbuka dan transparan.
BCA juga disebut menolak memberikan rekening koran milik Pradifta—hak dasar setiap pemegang rekening bank.
Kami mendesak Bank Indonesia dan OJK untuk segera memanggil BCA KCU Sumatera Utara dan menyelidiki dugaan pelanggaran ini, tambah Pakpahan.
Jika tidak ditindak, ini bisa menjadi preseden berbahaya dalam perlindungan konsumen perbankan di Indonesia.
Sejauh ini, pihak BCA belum memberikan tanggapan resmi.
Kasus ini menyoroti isu krusial mengenai lemahnya mekanisme pengawasan dalam sektor keuangan serta pentingnya memastikan perlindungan hak-hak nasabah secara menyeluruh.
Tim hukum Pradifta juga memperingatkan bahwa kasus serupa pernah terjadi sebelumnya, dan menyerukan pembenahan serius demi mengembalikan kepercayaan publik terhadap industri perbankan nasional.