Oleh: Muhammad Taufiq Amin, S.H., M.H.
Makassar – Pak Edy, begitu ia akrab disapa, adalah seorang warga yang tinggal di Jalan Musang, Kelurahan Maccurowalie, Kecamatan Watang Sawitto, Kabupaten Pinrang. Rumahnya dilelang oleh Bank Mandiri karena tunggakan kredit.
Pria paruh baya itu mengalami serangkaian tindakan yang ia anggap sebagai bentuk ketidakadilan hukum.
Peristiwa ini bermula ketika rumah Pak Edy dilelang setelah ia mengalami kesulitan dalam membayar kredit.
Meskipun Pak Edy mengaku sempat beritikad baik untuk menyelesaikan tunggakan utangnya, lelang tetap dilaksanakan. Ibu Anita menjadi pemenang lelang.
Pak Edy, merasa keputusan lelang bermasalah. Ia kemudian menggugat risalah lelang tersebut di pengadilan.
Namun, putusan pengadilan atas gugatan itu dinyatakan NO (niet ontvankelijk verklaard), atau gugatan tidak dapat diterima.
Sementara proses hukum perdata masih berjalan, tiba-tiba rumah Pak Edy dieksekusi berdasarkan permohonan eksekusi dari pihak Ibu Anita, pemenang lelang. Pak Edy merasa keberatan atas eksekusi ini, karena menurutnya, proses eksekusi seharusnya tidak dilakukan jika perkara perdata masih berlangsung.
Ia berkeyakinan bahwa haknya atas rumah tersebut masih berlaku, sehingga eksekusi dianggap cacat hukum.
Keesokan harinya, setelah eksekusi berlangsung, Pak Edy kembali memasuki rumahnya.
Mengetahui hal tersebut, Ibu Anita, yang diketahui juga seorang polisi berpangkat Komisaris Polisi (Kompol), bersama beberapa anggota Polres, melakukan tindakan paksa dengan menyeret Pak Edy keluar dari rumah hingga ia pingsan di tempat kejadian.
Saat melihat insiden kekerasan tersebut, keponakan Pak Edy, Yuliana, yang tengah hamil, keluar dari mobil dan melakukan perekaman video.
Tujuannya adalah agar tindakan penyeretan terhadap pamannya segera dihentikan.
Rekaman tersebut kemudian menjadi alat yang digunakan Pak Edy untuk membela diri melalui media sosial.
Ia merasa bahwa aksi penyeretan yang dilakukan di depan umum oleh seorang aparat seperti Ibu Anita tidak profesional dan tidak seimbang.
Pak Edy menyebarkan rekaman tersebut melalui ponsel milik Yuliana serta dua keponakannya yang lain, Fitri dan Darma.
Sayangnya, tindakan ini justru berbalik menghantam Pak Edy. Pria bernama lengkap Andi Edi Syandy ini bersama ketiga keponakannya dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik oleh Ibu Anita.
Padahal, menurut keterangan Pak Edy, ia menyebarkan video tersebut sebagai bentuk pembelaan atas tindakan tidak berimbang yang dilakukan oleh Ibu Anita di depan umum.
Ia juga sudah menyatakan kepada penyidik bahwa rekaman itu disebarkan atas inisiatifnya sendiri, mengingat kejadian tersebut mempermalukan dirinya di hadapan publik. Namun, laporan pencemaran nama baik tetap diajukan.
Kasus ini harus menjadi perhatian publik, terutama menyangkut dugaan adanya kriminalisasi terhadap Pak Edy dan keponakannya.
Pak Edy menilai bahwa tindakan merekam insiden tersebut tidak akan terjadi jika aparat tidak melakukan penyeretan secara paksa di hadapan umum.
Menurutnya, ia adalah korban yang paling dirugikan dan dipermalukan dalam peristiwa ini.
Lebih lanjut, Pak Edy juga menyoroti bahwa akar permasalahan dalam kasus ini adalah sengketa perdata terkait lelang rumah, bukan pidana.
Oleh karena itu, sangat disayangkan jika masalah perdata ini berkembang menjadi kasus pidana.
Apalagi dengan adanya dugaan tindakan kekerasan dan pemaksaan yang dialaminya.
Pak Edy menganggap laporan pencemaran nama baik ini sebagai upaya untuk membungkam dirinya dan keluarganya yang justru menjadi korban dalam peristiwa tersebut.
Ia menekankan bahwa apa yang terjadi adalah bentuk ekspresi pembelaan diri terhadap tindakan yang menurutnya tidak adil.
Rekaman yang disebarkan tersebut, menurut Pak Edy, hanyalah upaya untuk menunjukkan kepada publik bahwa aparat yang seharusnya mengayomi masyarakat justru melakukan tindakan yang tidak pantas.
Kami tidak ingin dianggap menuduh sembarangan. Tapi yang perlu diperhatikan adalah siapa yang pertama kali melakukan tindakan tidak manusiawi. Jika saya diseret di depan umum dan diperlakukan seperti itu, wajar saya mencari keadilan dengan cara apapun, termasuk menyebarkan rekaman, ujar Pak Edy kepada media beberapa waktu lalu.
Pak Edy juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap integritas penegakan hukum dalam kasus ini, mengingat Ibu Anita merupakan anggota kepolisian dengan pangkat Komisaris Polisi.
Ia menduga bahwa hubungan kerja antara Ibu Anita dengan penyidik yang menangani kasus ini di Polda Sulawesi Selatan dapat mempengaruhi objektivitas penyelidikan.
Ini bukan hanya soal rumah atau tanah, ini soal keadilan. Sangat disayangkan jika penyidik, yang seharusnya netral dan profesional, malah terkesan memihak karena hubungan rekan kerja. Saya berharap institusi kepolisian, sebagai lembaga penegak hukum yang seharusnya menjaga marwah keadilan, dapat menangani kasus ini dengan transparan dan adil, tambah Pak Edy.
Publik diharapkan dapat mencermati peristiwa ini sebagai contoh kasus yang memerlukan penanganan yang jujur dan profesional oleh pihak berwajib.
Pak Edy juga meminta perhatian dari lembaga terkait agar tidak ada kriminalisasi terhadap warga sipil yang berusaha mencari keadilan, terutama dalam konteks sengketa yang asal mulanya bersifat perdata.
Sementara itu, keluarga Pak Edy, terutama ketiga keponakannya, kini turut menghadapi ancaman hukum atas dugaan pencemaran nama baik.
Mereka merasa bahwa tindakan mereka hanya merupakan respons terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan di depan mata mereka.
Menurut keluarga, jika tidak ada perekaman dan penyebaran video tersebut, maka tidak akan ada perhatian terhadap ketidakadilan yang dialami Pak Edy, paman mereka.
Kasus ini kini tengah menjadi sorotan, terutama terkait dengan dugaan kriminalisasi dan penggunaan kekerasan dalam proses penegakan hukum.
Pak Edy berharap bahwa keadilan akan tetap ditegakkan, dan agar aparat penegak hukum menjalankan tugasnya dengan benar tanpa intervensi atau keberpihakan kepada pihak manapun.
Publik pun menantikan perkembangan lebih lanjut dari kasus ini.
Masyarakat berharap kasus ini dapat diselesaikan secara adil, transparan, dan tanpa ada unsur-unsur yang mencederai integritas lembaga penegak hukum.
Pak Edy juga menegaskan bahwa dalam hal dugaan pencemaran nama baik, pihaknya sebenarnya memiliki bukti lebih yang menunjukkan bahwa tindakan Ibu Anita tidak hanya tidak profesional, tetapi juga jauh dari norma kesopanan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seorang aparat kepolisian.
Menurut Pak Edy, sebelum insiden penyeretan terjadi, Ibu Anita bersama suaminya, yang juga seorang polisi, melakukan tindakan yang tidak pantas di depan rumahnya.
Mereka berdua datang ke depan pagar rumah saya, berteriak-teriak seperti anak-anak sekolah dasar yang melampiaskan amarah tanpa kendali. Ibu Anita memfitnah saya dengan kata-kata kotor, menyebut saya koruptor, orang gila, dan tidak tahu malu. Mereka juga mengatakan bahwa semua tetangga saya tidak suka dengan saya, jelas Pak Edy.
Tidak hanya itu, Ibu Anita bahkan sempat mengancam Pak Edy secara langsung dengan mengatakan,
“Akan saya seret kamu!” Ancaman tersebut, menurut Pak Edy, tidak hanya sekadar ucapan, karena beberapa waktu kemudian, ancaman itu benar-benar dilaksanakan.
Sekelompok polisi yang merupakan anak buah Ibu Anita benar-benar menyeret Pak Edy keluar dari rumahnya hingga ia pingsan di tempat.
Kejadian ini terjadi di depan publik dan tetangga sekitar, sehingga menimbulkan kegemparan di lingkungan tempat tinggalnya.
Semua tindakan ini, menurut Pak Edy, telah terekam dan menjadi bukti kuat bahwa tindakan Ibu Anita sangat tidak profesional dan jauh dari etika sebagai seorang aparat penegak hukum.
Kami punya bukti. Ini bukan sekadar fitnah. Semua tindakan kasar dan tidak bermoral itu ada dalam rekaman yang bisa kami tunjukkan. Sangat menyedihkan melihat bagaimana seorang polisi yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat malah bertindak seperti predator dengan penuh dendam pribadi, kata Pak Edy.
Ia juga menyayangkan bagaimana perilaku seperti ini bisa mencoreng institusi Polri yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia.
Menurutnya, negara sangat mengharapkan aparat kepolisian menjadi pengayom masyarakat, bukan sebaliknya menjadi pelaku tindakan represif yang malah menindas warga.
Kasihan negara ini jika membiarkan aparat tidak bermoral seperti ini. Bagaimana kita bisa percaya pada institusi yang seharusnya melindungi jika ada oknum yang penuh dendam dan melupakan tugas mereka sebagai penegak hukum? Polri sebagai institusi besar harus bisa membedakan mana yang bertindak atas dasar hukum, dan mana yang hanya menuruti dendam pribadi, lanjut Pak Edy.
Pak Edy dan keluarganya kini berharap agar semua bukti yang mereka miliki dapat menjadi dasar bagi penegakan hukum yang adil dalam kasus ini.
Mereka meminta agar pihak berwenang dapat melihat dengan jernih dan objektif, tanpa ada pengaruh dari jabatan atau hubungan antar institusi.
Kami ingin keadilan ditegakkan. Jangan biarkan oknum seperti ini terus merusak citra Polri yang kita semua harapkan sebagai penjaga keadilan di negeri ini, pungkasnya.
Berikut alasan dan argumentasi hukum terkait kasus penganiayaan versus pencemaran nama baik yang dihadapi Pak Edi bersama keluarganya.
1. Hak Publik untuk Mengkritik Pejabat Publik
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28F, menjamin setiap warga negara hak untuk memperoleh informasi, mengkomunikasikan, dan menyebarkan pendapat. Pejabat publik, seperti polisi, yang digaji oleh rakyat, merupakan objek yang sah untuk dikritik.
Jika seorang Presiden saja bisa dikritik oleh rakyat, mengapa seorang Komisaris Polisi harus kebal dari kritik? Kritik terhadap pejabat publik merupakan bagian dari kontrol sosial yang sehat dalam demokrasi.
2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
Tindakan penyeretan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang mendasar. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 5 menyatakan bahwa “Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan dengan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabatnya.”
Tindakan penyeretan Pak Edy jelas masuk dalam kategori perlakuan yang merendahkan martabat dan melanggar HAM.
3. Tidak Ada Justifikasi untuk Kekerasan Fisik
Tidak ada hukum yang membenarkan kekerasan fisik dalam proses penyelesaian sengketa, apalagi dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 33, menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk dilindungi dari kekerasan dan penyiksaan.
Aparat yang melakukan penyeretan melanggar prinsip ini, yang seharusnya dihukum, bukan dilindungi oleh klaim pencemaran nama baik.
4. Prinsip Kesetaraan di Hadapan Hukum
Pasal 27 UUD 1945 menyatakan bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Tidak ada pejabat publik yang boleh kebal hukum, termasuk aparat penegak hukum. Melaporkan tindakan penyebaran video kekerasan sebagai pencemaran nama baik, sementara tindakan kekerasan itu sendiri tidak dihukum, mencederai prinsip kesetaraan ini.
5. Pencemaran Nama Baik Tidak Berlaku jika Fakta Terbukti
Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik memberikan pengecualian jika tuduhan tersebut benar atau dapat dibuktikan.
Dalam kasus ini, penyeretan Pak Edy telah terekam dan disaksikan banyak orang.
Video tersebut merupakan fakta yang tidak bisa disangkal, sehingga tuduhan pencemaran nama baik tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
6. Penyebaran Video sebagai Bentuk Whistleblowing
Penyebaran video yang menunjukkan kekerasan oleh aparat seharusnya dilihat sebagai bentuk whistleblowing, yaitu pengungkapan penyimpangan atau pelanggaran hukum oleh pejabat publik.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengakui hak warga negara untuk melaporkan kejahatan atau pelanggaran tanpa takut akan pembalasan.
7. Aparat Harus Memiliki Standar Etik yang Lebih Tinggi
Sebagai pejabat publik, aparat penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan standar etik yang lebih tinggi.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 5, mengharuskan aparat kepolisian untuk menegakkan hukum dan HAM.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat dalam kasus ini jelas melanggar kewajiban etik dan hukum mereka.
8. Hak atas Informasi yang Seimbang
Warga negara memiliki hak atas informasi yang seimbang dan transparan, termasuk mengungkapkan ketidakadilan yang mereka alami.
Pasal 6 UU Pers No. 40 Tahun 1999 mendukung kebebasan pers untuk menyajikan informasi yang benar dan seimbang.
Penyebaran video yang menunjukkan tindakan aparat penegak hukum tidak dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik, tetapi sebagai penyampaian fakta kepada publik.
9. Penyebaran Video Bukan Tindak Pidana jika Berbasis Fakta
Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengatur bahwa penghinaan melalui media elektronik hanya berlaku jika informasi yang disebarkan tidak benar.
Dalam kasus ini, video yang disebarkan Pak Edy merupakan rekaman langsung dari kejadian penyeretan yang nyata, dan tidak ada elemen kebohongan atau fitnah.
Oleh karena itu, tidak ada dasar untuk menyebutnya sebagai tindak pidana pencemaran nama baik.
10. Kekebalan Hukum Bagi Aparat Adalah Pelanggaran Demokrasi
Jika aparat penegak hukum diberikan kekebalan dari kritik publik, ini merupakan ancaman bagi prinsip demokrasi.
Prinsip “checks and balances” yang ada dalam sistem demokrasi Indonesia mewajibkan pejabat publik, termasuk polisi, untuk terbuka terhadap kritik.
Memberikan perlindungan hukum terhadap aparat yang melanggar hukum akan merusak integritas institusi penegak hukum itu sendiri.
Dengan argumentasi-argumentasi di atas, jelas bahwa tindakan kekerasan oleh aparat terhadap Pak Edy adalah pelanggaran berat yang tidak boleh ditoleransi.
Penyeretan yang terekam dan disebarkan ke publik bukan pencemaran nama baik, melainkan kritik sah terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang harus ditanggapi dengan serius, bukan dihentikan atau di-SP3 sebagaimana dilakukan oleh Polres Pinrang. ***