Sebuah Potret Korupsi di Lingkaran Legislatif dan Eksekutif
Baru-baru ini, kita dipertontonkan oleh sebuah kenyataan tragis kasus korupsi para Menteri sebagai pembantu Presiden yang bercokol di lembaga Eksekutif, diantaranya adalah Menteri Pertanian, Menteri Komunikasi dan Informasi yang terjerat kasus korupsi kurang lebih 8 T, belum lagi kasus korupsi BTS yang menyeret nama Menteri pemuda dan olah raga yang disinyalir menerima uang sebesar 27 M.
Peristiwa ini merupakan gambar betapa akutnya persoalan korupsi di lingkungan lembaga eksekutif itu. Begitu pula dilembaga Legislatif, Praktek transaksi dalam penetapan Perda, APBD dan sejumlah agenda lainnya dengan melibatkan oknum dari lembaga ekskutif maupun para pengusaha dalam praktek haram tersebut untuk memuluskan
Belum lagi dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Hingga saat ini sejak tahun 2004 hingga Januari 2022 tercatat176 pejabat daerah terjerat kasus korupsi dengan rincian 154 walikota/Bupati dan 22 gubernur, yang diproses oleh KPK dalam perkara jeratan korupsi dan penucian uang, belum lagi jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebanyak 310 wakil rakyat yang terjerat korupsi dalam priode yang sama.
Hal ini tentunya lebih besar lagi jika digabungkan dengan data Kejaksaan dan Kepolisian, ICW mencatat sepanjang tahun 2010 hingga juni 2018 tak kurang 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh penegak hukum. Salah satu Faktor hal ini terjadi karena mahalnya biaya polittik.
Fenomena korupsi yang dilakukan oleh para politisi yang duduk di lembaga legistlatif maupun pemerintah daerah dalam hal ini eksekutif di atas, sungguh memiriskan hati. Betapa tidak, proses pemilu dan pemilukada untuk memilih dan menetapkan kepala daerah dan wakilnya serta para anggota legislatif sebagai representasi dari wakil rakyat memakan cost politic yang tidak sedikit. Belum lagi dengan konflik antara sesama masyarakat, merupakan biaya sosial lainnya yang harus dibayar sebagai konsekuensi dari sistem demokrasi yang dipilih dalam sistem politik di Indonesia. Proses yang mahal dan rumit tersebut ternyata tidak sebanding dengan komitmen sejumlah politisi untuk mengutamakan kepentingan masyarakat dan bangsa. Sebaliknya, mereka berbondong-bondong untuk memperbaiki kualitas hidup dan kemakmuran diri sendiri dibalik topengnya mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Kasus korupsi yang seolah tanpa henti ini membuat kita bertanya-tanya tentang langkah yang harus dilakukan agar cost politic yang besar ini tidak Cuma-Cuma menghasilkan bandit-bandit politik yang haus akan kekayaan dan private interest. Korupsi harus menjadi salah satu musuh utama yang harus dibasmi pada lingkaran para politis. Hukuman pidana sejauh ini belum begitu efektik menumbuhkan rasa itu.
Mencabut Hak Politik Para Koruptor
Menyikapi masifnya tindakan korupsi oleh para politisi memantik hasrat untuk mencari tindakan dan kebijakan yang tepat untuk menekan terjadinya korupsi di lingkungan pemerintah maupun lembaga legislative. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah dicabutnya hak politik para politisi yang pernah terjerat kasus korupsi.
Hak politik merupakan salah satu dalam rumpun hak asasi manusia sebagaimana diatur pada Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Pencabutan hak politik, khususnya berkenaan tentang hak untuk dipilih sebagai pejabat publik merupakan bentuk hukuman yang diberikan kepada para politisi yang tidak amanah dalam memegang jabatan publik sehingga yang bersangkutan tidak bisa lagi menyalahgunakan wewenangnya.
Pasal 25 Kovenan Hak Sipil jug secara jelas menyatakan bahwa pencabutan hak politik “hanya” terkait dengan jabatan politik yang diperoleh melalui pemilihan umum, seperti jabatan sebagai anggota parlemen, bupati, gubernur, dan presiden. Jika kita menilik Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada Pasal 73 disebutkan bahwa pembatasan atau pencabutan hak asasi manusia hanya diperkenankan berdasarkan undang-undang. Tujuannya adanya menjamin pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Pemilu 2024 dan Pencabutan Hak Politik Koruptor
Patut diapresiasi langkah yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum untuk tidak memberikan hak politik kepada eks narkoba, kejahatan seksual terhadap anak serta koruptor dalam pencalonan sebagai Anggota Legislatif dalam Pemilihan Umum 2019. KPU kemudian mengaturnya dalam dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang resmi diundangkan pada tanggal 2 Juli 2018.
Sebagaimana tertera dalam Pasal 4 ayat 3 yang berbunyi ‘Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak menyertakan mantan narapidana narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan korupsi’. Dengan keputusan ini maka ada harapan agar ada penjaringan calon anggota Legislatif dari partai politik yang ikutserta dalam pemilu 2024 tidak menyertakan para caleg yang pernah terjerat dalam kasus narkoba, kejahatan seksual dan korupsi.
Namun keputusan KPU ini menunai penolakan dari calon anggota legislative yang pernah terjerat korupsi. Langkah hukumpun dilakukan hingga keluarnya Keputusan Badan Pengawasan Pemilu yang mengabulkan gugatan salah satu mantan narapidana kasus korupsi M. Taufik yang mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislative di tahun 2019 pada waktu itu. Keputusan ini juga dikuatkan dengan keputusan MA yang membatalkan pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018 lantaran dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dengan kondisi ini, maka harapan untuk menghilangkan hak politik para politisi koruptor akan sulit diwujudkan di Pemilu 2024.
Langkah Kongkrit
Dengan keluarnya keputusan MA yang membatalkan pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018 membuat upaya untuk menghalangi keikutsertaan mantan narapidana koruptor dalam pemilu 2024 sulit terwujud. Akan tetapi, peristiwa ini menjadi catatan penting wajibanya pengaturan pelarangan mantan koruptor dalam revisi UU Pemilu di periode berikutnya sehingga memberikan kekuatan hukum yang jelas dalam menghilangkan hak politik koruptor.
Sekalipun demikian, langkah kongkrit yang dapat dilakukan saat ini adalah: (1) tidak memilih mantan narapidana korupsi di pemilu 2024. Langkah ini merupakan hukum moril yang diberikan oleh rakyat kepada wakil rakyat yang tidak amanah ketika diberikan kepercayaan mengembang jabatan public, (2). Tidak memilih Partai yang memberikan ruang kepada mantan narapidana korupsi dalam Pemilu 2024. Hal ini dimaksudkan sebagai hukuman kepada partai politik yang tidak selektif dalam memilih dan menetapkan calon anggota legislatifnya. Karena sepatutnya, jika semua partai politik komitmen untuk memberantas kasus korupsi di Indonesia, maka salah satu langkah kongrkitnya adalah tidak mengizinkan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri lewat partainya.
Tentu saja kita semua berharap, upaya menghilangkan hak politik koruptor dapat mereduksi tingkat korupsi di Indonesia. Semoga.
Penulis : Dr. Andi Bachtiar, S.Sos, M.Si, M.Pd. (Direktur Pascasarjana UPRI Makassar).