Polres Buru Undang 13 Aktivis Bahas Penertiban Tambang Gunung Botak

Reporter Burung Hantu
Surat undangan dari Polres Buru.

Mediapesan | Namlea – Polemik tambang emas Gunung Botak kembali memanas.

Polres Buru mengirimkan surat undangan kepada 13 aktivis dan pemuda untuk menghadiri dialog resmi terkait penertiban wilayah pertambangan tanpa izin (PETI) di kawasan Gunung Botak, Kabupaten Buru.

Dialog tersebut merujuk pada Surat Gubernur Maluku Nomor 500.10.2.3/1052 tertanggal 19 Juni 2025, yang memerintahkan penertiban dan pengosongan aktivitas tambang ilegal di Gunung Botak.

- Iklan Google -
Mediapesan.com terdaftar di LPSE dan E-Katalog Klik gambar untuk melihat Katalog kami.

Dalam surat yang beredar, undangan dialamatkan kepada sejumlah nama, di antaranya Zulkifli Nustelu, Taher Fua, Rauf Wabula, Firman Mabait, Ongen Hukul, Fandi Nacikit, Epot Latbual, Ketua KNPI Bursel, Kamarudin Latbual, Aci Gibrihi, Abu Fua, Mei Lesnusa, Serli Saleki, Taju Tasijawa, Sadu Gibrihi, Ongen Rada, Stefanus Waemese, dan Wider Nurlatu.

Mereka diminta hadir pukul 09.00 WIT di Polres Buru untuk dialog terkait sosialisasi penertiban, pengosongan, dan penataan lokasi PETI di Desa Dava, Kecamatan Waelata.

Warga Menolak Masuknya Koperasi

Sudah empat hari proses himbauan penertiban berlangsung di lapangan.

Jasa Pembuatan Website Berita
Jasa Website Jogja

Namun dari pantauan, masyarakat setempat justru melakukan hadangan dan menolak keras kehadiran koperasi yang disebut-sebut akan mengelola wilayah tersebut.

Raja Fandi Wael yang ditemui di lokasi mengungkapkan bahwa penolakan warga dipicu ketidakjelasan status hak lahan.

Menurutnya, koperasi yang ingin masuk belum menyelesaikan urusan kepemilikan tanah dengan pemilik lahan dan ahli warisnya.

- Iklan Google -

“Kami tidak ingin kejadian lama terulang,” ungkap Fandi.

Trauma Masyarakat terhadap Tambang Koperasi

Warga disebut masih trauma dengan pengalaman masa lalu saat perusahaan atau koperasi tambang sebelumnya beroperasi, seperti PT PIP, BPS, hingga P3.

Baca Juga:  Dugaan Kasus Pelecehan Seksual di UIN Makassar Memicu Protes Mahasiswa

Dari penelusuran, beberapa warga adat bahkan pernah hanya menerima Rp50 ribu per bulan sebagai bagian hasil tambang dari pihak perusahaan pada masa itu.

Kondisi tersebut membuat masyarakat adat dan para pemilik lahan kini bersikap sangat berhati-hati.

Selain itu, warga juga menyoroti limbah pengolahan tambang lama yang hingga kini masih terlihat di wilayah Wasboli dan jalur H dekat rumah seorang warga bernama Bapak Robot, yang ditinggalkan pihak perusahaan maupun koperasi.

(sk)

Bagikan Berita Ini
Tinggalkan Ulasan

Tinggalkan Ulasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *