mediapesan.com | Dalam sebuah pernyataan yang penuh kemarahan, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengecam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setelah organisasi tersebut memasukkan Israel ke dalam daftar hitam negara-negara yang bertanggung jawab atas pembunuhan anak-anak.
Netanyahu menyebut keputusan ini sebagai tindakan tidak adil dan konyol.
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah bergabung dengan para pembunuh yang mendukung Hamas. PBB telah memasukkan dirinya ke dalam daftar hitam sejarah, ujar Netanyahu dalam pidatonya, dilansir dari saluran Qudsn, (8/6/2024).
Keputusan PBB ini memicu reaksi keras dari pemerintah Israel yang merasa difitnah oleh resolusi tersebut.
Netanyahu menegaskan bahwa tentara Israel adalah yang paling bermoral di dunia, menuduh PBB mengambil sikap bias yang mendukung kelompok teroris.
Ini adalah resolusi yang konyol dan tidak beralasan. Tentara Israel selalu beroperasi dengan standar moral tertinggi dan dalam banyak kasus, mereka berada di bawah ancaman langsung dari serangan teroris Hamas, tambah Netanyahu.
Langkah PBB tersebut, yang bertujuan untuk mengidentifikasi negara-negara dan kelompok yang terlibat dalam pelanggaran terhadap anak-anak, termasuk dalam konflik bersenjata, telah menimbulkan kontroversi dan debat internasional.
Pihak-pihak yang mendukung keputusan ini berargumen bahwa hal itu merupakan langkah penting untuk perlindungan anak-anak dalam situasi konflik, sementara kritikus menilai bahwa keputusan ini didorong oleh motif politik dan tidak berdasar pada fakta yang sebenarnya.
Dalam situasi yang semakin tegang, Israel terus menghadapi kritik global atas tindakannya di wilayah Palestina, khususnya di Gaza.
Namun, Netanyahu dan pemerintahannya tetap teguh pada pendirian bahwa mereka berhak membela diri dari ancaman teroris.
Perselisihan ini menyoroti betapa kompleks dan sensitifnya isu keamanan dan hak asasi manusia di wilayah tersebut, dengan kedua belah pihak terus saling tuduh dan membela tindakan masing-masing.
Keputusan PBB dan tanggapan keras dari Israel menambah babak baru dalam sejarah panjang konflik di Timur Tengah. ***
(red)