Surabaya, 19 April 2025 – Tulisan kritis soal peran Dewan Pers dalam UKW, verifikasi media, dan potensi intervensi isi berita.
Refleksi atas amanat UU Pers dan realitas di lapangan.
Dua puluh enam tahun sejak reformasi bergulir, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) masih menjadi tonggak utama kebebasan pers di Indonesia.
Di dalamnya, Pasal 15 mengamanatkan pembentukan Dewan Pers sebagai lembaga independen yang bertugas melindungi kemerdekaan pers sekaligus meningkatkan kualitas jurnalistik.
Namun seiring waktu, dinamika internal dan eksternal yang melibatkan Dewan Pers memunculkan sejumlah pertanyaan kritis: sejauh mana lembaga ini masih selaras dengan mandat idealnya?
Ketika Mediasi Menyerupai Penghakiman
Salah satu sorotan utama terletak pada kecenderungan Dewan Pers dalam menjalankan fungsi mediasi.
Meski Pasal 15 menekankan peran fasilitatif, kenyataannya, rekomendasi atau pernyataan Dewan Pers kerap terdengar seperti putusan etik yang mengandung dampak reputasional bagi media atau jurnalis.
Kondisi ini menciptakan kekhawatiran akan efek “chilling” di kalangan jurnalis: rasa takut akan diadili secara etik bisa mendorong praktik sensor diri, padahal belum tentu ada pelanggaran hukum yang terjadi.
Fungsi mediasi seharusnya menjadi ruang dialog, bukan arena penghakiman.
“Peningkatan Mutu” yang Rentan Intervensi?
Peningkatan kualitas jurnalisme memang menjadi cita-cita bersama.
Namun jika implementasinya mengarah pada penilaian substansi berita, bukan pada prosesnya, maka independensi redaksi bisa terancam.
Interpretasi Kode Etik Jurnalistik yang terlalu sempit atau digunakan secara selektif berisiko mengaburkan garis batas antara penilaian etik dan intervensi editorial.
Yang seharusnya dijaga adalah cara kerja jurnalistik—verifikasi, keberimbangan, dan etika peliputan—bukan isi atau sudut pandang berita itu sendiri.
Uji Kompetensi Wartawan: Standarisasi atau Seleksi?
Polemik lain mencuat dari pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan (UKW).
Meski dimaksudkan untuk menjamin profesionalisme, UKW dinilai menyisakan ruang eksklusivitas.
Jurnalis dari media kecil, daerah terpencil, atau yang bekerja secara independen, seringkali terkendala akses, biaya, bahkan distigmatisasi bila tidak memiliki sertifikat UKW.
Pertanyaannya, apakah UKW sebagai satu-satunya tolok ukur kompetensi memiliki dasar hukum yang kuat dalam UU Pers?
Atau justru menjadi instrumen baru yang membatasi keberagaman dalam lanskap media?
Verifikasi Media: Meningkatkan Kualitas atau Menciptakan Hierarki?
Proses verifikasi perusahaan pers yang dijalankan Dewan Pers juga tak luput dari kritik.
Meski bertujuan menjamin akuntabilitas, mekanisme yang tidak sepenuhnya transparan bisa menciptakan kesan eksklusif dan menghambat media alternatif yang tak memiliki sumber daya besar namun tetap menjunjung prinsip jurnalistik.
Apakah verifikasi ini benar-benar berdampak positif terhadap kualitas pemberitaan?
Atau justru mempersempit ruang gerak media kecil yang independen?
Transparansi dan Akuntabilitas: Pilar yang Perlu Diperkuat
Sebagai lembaga publik yang dibentuk oleh undang-undang, Dewan Pers seyogianya menjalankan prinsip transparansi dalam segala prosesnya: mulai dari pengambilan keputusan, penggunaan anggaran, hingga penanganan pengaduan.
Minimnya informasi terbuka terkait hal-hal tersebut berpotensi mengikis kepercayaan publik, terutama di kalangan jurnalis yang menjadi mitra langsung lembaga ini.
Membela Pers, Bukan Sekadar Menengahi
Lebih dari itu, Dewan Pers memiliki mandat utama untuk melindungi kebebasan pers dari segala bentuk campur tangan.
Sayangnya, dalam beberapa kasus intimidasi atau kekerasan terhadap jurnalis, Dewan Pers dinilai tidak cukup proaktif dan tegas.
Sikap moderat bisa dimaknai sebagai kelambanan jika tidak dibarengi tindakan nyata dalam membela kemerdekaan pers.
Menuju Dewan Pers yang Lebih Amanah
Kritik yang disampaikan bukan bertujuan menjatuhkan, melainkan sebagai bentuk kontrol sosial terhadap lembaga yang perannya sangat krusial dalam demokrasi.
Beberapa langkah pembenahan perlu segera dilakukan:
- Evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan seperti UKW dan verifikasi media, untuk memastikan kesesuaian dengan semangat UU Pers.
- Peningkatan partisipasi publik dan pelibatan organisasi jurnalis, akademisi, serta media dari berbagai skala dalam proses pengambilan keputusan.
- Transparansi informasi tentang proses internal dan kebijakan anggaran sebagai wujud akuntabilitas lembaga publik.
- Konsistensi dan ketegasan dalam membela jurnalis dan media yang terancam, terutama dalam kasus-kasus pelanggaran serius terhadap kebebasan pers.
Sebagai pilar keempat demokrasi, pers yang merdeka dan bertanggung jawab tidak akan tumbuh tanpa lingkungan yang mendukung.
Dewan Pers seharusnya menjadi garda terdepan, bukan pagar pembatas.
Kita membutuhkan Dewan Pers yang tidak hanya aktif menyuarakan etika, tetapi juga sigap membela kebebasan.
Tidak hanya menyusun standar, tapi juga menjamin ruang bagi keragaman dan kritik yang sehat. ***