Oleh: Prof (HCUA) Dr. Mia Amiati, S.H., M.H., CMA., CSSL.
Setiap tanggal 1 Mei di Indonesia bukan hanya sekadar tanggal merah di kalender.
Ia adalah pengingat tentang janji-janji keadilan dan tantangan-tantangan yang masih membayangi dunia kerja nasional.
Setiap Hari Buruh Nasional, para pekerja di Indonesia kembali menyuarakan aspirasi mereka.
Di balik orasi dan spanduk, terdapat pertanyaan mendalam: apakah sistem hukum yang berlaku sudah cukup adil dan responsif terhadap kebutuhan pekerja?
Sebagai negara yang menjunjung tinggi Pancasila dan konstitusi, Indonesia memiliki mandat moral dan hukum untuk memastikan kehidupan yang layak bagi para pekerja.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kesenjangan masih lebar.
Jejak Sejarah dan Tantangan Baru
Sejarah perburuhan di Indonesia sarat dengan perjuangan panjang demi hak-hak dasar: upah yang adil, jam kerja manusiawi, dan lingkungan kerja yang aman.
Perjuangan ini telah membuahkan sejumlah regulasi penting.
Namun, hukum bukanlah entitas yang statis.
Era digital telah membawa transformasi besar dalam dunia kerja – mulai dari ekonomi berbasis platform hingga sistem kerja fleksibel (gig economy) yang menantang definisi klasik ketenagakerjaan.
Dengan munculnya model kerja baru, para ahli hukum menekankan pentingnya pembaruan regulasi agar pekerja tetap terlindungi, termasuk hak atas jaminan sosial, status kerja yang jelas, dan penyelesaian sengketa yang adil.
Kesenjangan dan Ketidakmerataan
Isu kesenjangan upah antar wilayah dan sektor masih menjadi sorotan utama.
Pekerja dengan kualifikasi dan beban kerja serupa bisa mendapatkan kompensasi yang sangat berbeda.
Di samping itu, praktik kerja kontrak jangka panjang tanpa kejelasan status, jam kerja yang melebihi batas, serta minimnya pengawasan keselamatan kerja, menandakan perlunya penegakan hukum yang lebih tegas.
Pakar hukum menyebut bahwa prinsip keadilan dan non-diskriminasi seharusnya menjadi dasar penetapan kebijakan ketenagakerjaan – sesuatu yang belum sepenuhnya tercermin dalam praktik.
Pendidikan dan Jaminan Sosial sebagai Hak
Peningkatan kualitas tenaga kerja melalui pendidikan vokasi merupakan investasi jangka panjang yang tak kalah penting.
Sistem hukum Indonesia dituntut mampu mendukung kerja sama antara dunia pendidikan dan industri agar kurikulum dan pelatihan relevan dengan kebutuhan zaman.
Selain itu, jaminan sosial – mencakup kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, hingga kehilangan pekerjaan – perlu ditegakkan sebagai hak asasi pekerja, bukan sekadar program sosial tambahan.
Kepastian hukum atas sistem ini menjadi prasyarat kepercayaan publik.
Dialog Sosial dan Peran Akademisi
Dialog antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja harus terus diperkuat dalam wadah tripartit.
Dalam konteks ini, keterbukaan dan kepatuhan pada aturan menjadi kunci untuk membangun hubungan industrial yang sehat.
Akademisi hukum memiliki peran strategis: menyediakan analisis yuridis, evaluasi regulasi, dan kajian perbandingan dari negara lain sebagai bahan pertimbangan pembuat kebijakan.
Refleksi untuk Masa Depan
Hari Buruh bukan hanya perayaan atau peringatan, melainkan juga refleksi tentang sejauh mana Indonesia memenuhi janjinya kepada pekerja.
Sebuah peradaban tak akan berjalan tanpa tenaga mereka – dan hukum yang berpihak pada keadilan sosial adalah fondasi dari kemajuan itu sendiri. ***