Oleh: Heintje Mandagie, Ketua Umum DPP SPRI.
Polemik dalam pemilihan Rektor Universitas Negeri Manado (UNIMA) tampaknya masih belum berakhir.
Meskipun Dr. Joseph Philip Kambey telah resmi dilantik oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) RI, isu plagiarisme terus dihembuskan oleh sejumlah anggota Senat UNIMA yang sebelumnya menjadi rivalnya dalam pemilihan rektor.
Tak hanya itu, Dr. Joseph Philip Kambey kini menghadapi ancaman kriminalisasi setelah sejumlah dosen melaporkannya ke pihak kepolisian dengan tuduhan plagiarisme.
Laporan ini diajukan melalui kuasa hukum mereka dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makapetor, Erik Mingkid.
Namun, tuduhan ini menimbulkan banyak pertanyaan.
Dugaan plagiarisme yang diarahkan kepadanya bermula dari kasus seorang mahasiswa yang mencantumkan nama Joseph Philip Kambey dalam sebuah karya tulis tanpa izin.
Ironisnya, laporan ini tetap berlanjut meskipun Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) telah melakukan penyelidikan dan menyatakan bahwa Joseph Philip Kambey tidak terbukti melakukan plagiarisme.
Hal ini ditegaskan oleh Inspektur Jenderal Kemendikbudristek, Catharina Muliana Girsang, sehingga yang bersangkutan tetap memenuhi syarat untuk menjadi calon rektor UNIMA dan akhirnya terpilih dengan suara terbanyak.
Dugaan Keterkaitan dengan Kasus Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
Nama Joseph Philip Kambey juga dikaitkan dengan skandal akademik yang pernah mengguncang Universitas Negeri Jakarta (UNJ), tempat ia menempuh pendidikan doktoral.
Pada 2017, UNJ diterpa isu plagiarisme dan dugaan jual beli ijazah dalam program doktoral.
Salah satu mahasiswa yang terseret dalam kasus ini adalah eks Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam.
Kemenristekdikti kemudian membentuk Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) untuk menyelidiki dugaan pelanggaran akademik di UNJ.
Hasil investigasi menunjukkan adanya ketidakwajaran dalam rasio antara jumlah mahasiswa doktoral dan jumlah dosen pembimbing.
Dalam periode 2012-2016, ditemukan bahwa seorang dosen bisa membimbing lebih dari 100 mahasiswa per tahun, jauh melampaui batas maksimal 10 mahasiswa per tahun yang diatur dalam Peraturan Menristekdikti Nomor 44 Tahun 2015.
Salah satu dosen yang paling banyak membimbing mahasiswa adalah Prof. Dr. H. Djaali, yang juga tercatat sebagai dosen promotor dari Joseph Philip Kambey.
Dalam kurun waktu empat tahun, Djaali membimbing 327 mahasiswa doktoral, termasuk Joseph Philip Kambey.
Temuan Tim EKA juga menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara jumlah lulusan program doktor dan data penerbitan nomor ijazah.
Dari 2004 hingga 2016, UNJ meluluskan 2.104 mahasiswa doktoral, tetapi nomor ijazah yang diterbitkan mencapai 2.557.
Selisih 453 mahasiswa ini memunculkan dugaan praktik jual beli ijazah.
Namun, hingga kini belum ada konfirmasi apakah Joseph Philip Kambey termasuk dalam kategori lulusan bermasalah atau terlibat dalam dugaan praktik jual beli ijazah.
Berdasarkan data UNJ, ia merupakan lulusan ke-2058 program pascasarjana pada 23 September 2013.
Dampak dari kasus ini cukup besar. Prof. Dr. H. Djaali akhirnya dicopot dari jabatan Rektor UNJ, dan gelar doktor Nur Alam sempat dicabut sebelum akhirnya dikembalikan setelah gugatan kasasinya menang di Mahkamah Agung pada 2022.
Kehati-hatian dalam Menyikapi Kasus Rektor UNIMA
Jika merujuk pada kasus di UNJ, tuduhan plagiarisme terhadap beberapa tokoh terbukti tidak berdasar.
Namun, mereka tetap mengalami konsekuensi berat, seperti pencopotan jabatan dan rusaknya reputasi akademik.
Oleh karena itu, Polda Sulut perlu berhati-hati dalam menangani laporan plagiarisme terhadap Rektor UNIMA, Joseph Philip Kambey.
Apalagi, dalam kasus ini, karya yang dipermasalahkan bukan ditulis atau dipublikasikan oleh Joseph Philip Kambey sendiri, melainkan oleh orang lain yang mencatut namanya tanpa izin.
Hal ini sangat berbeda dari kasus di UNJ, yang melibatkan dugaan pelanggaran sistemik dalam proses akademik.
Penelusuran Lebih Lanjut terhadap Program Doktoral UNJ
Hingga saat ini, masih dilakukan upaya penelusuran dan konfirmasi kepada UNJ serta Kemendikbudristek terkait dampak dari dosen promotor yang melebihi kapasitas bimbingan.
Salah satu pertanyaan penting adalah bagaimana nasib mahasiswa yang lulus di bawah bimbingan dosen yang melampaui batas tersebut.
Selain itu, masa studi dan beban studi yang ditempuh Joseph Philip Kambey di UNJ pada 2010-2013 juga masih belum terkonfirmasi.
Berdasarkan peraturan akademik yang berlaku, program doktoral bagi lulusan magister yang tidak sebidang harus menempuh minimal 52 SKS dalam lima semester.
Beban studi maksimal per semester adalah 9 SKS.
Dari dokumen transkrip akademik UNJ, diketahui bahwa Joseph Philip Kambey menempuh 27 SKS dalam dua semester pada 2010-2011, lalu 15 SKS dalam satu semester pada 2011-2012.
Jumlah ini melampaui batas maksimal yang diatur dalam ketentuan akademik.
Sebelumnya, Tim EKA juga menemukan berbagai kejanggalan dalam program doktoral UNJ, seperti pemadatan jadwal kuliah, ketidakseimbangan rasio promotor dan mahasiswa, serta dugaan pemalsuan daftar hadir.
Namun, hingga kini belum ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa Joseph Philip Kambey terlibat dalam praktik-praktik tersebut.
Oleh karena itu, penelusuran masih terus dilakukan untuk memastikan bahwa proses akademik yang dijalani oleh Joseph Philip Kambey di UNJ tidak bermasalah.
Kasus yang menimpa Rektor UNIMA, Joseph Philip Kambey, tampaknya lebih bernuansa politis daripada akademis.
Tuduhan plagiarisme yang diarahkan kepadanya telah dibantah oleh Kemendikbudristek, namun tetap digunakan sebagai alat untuk menjatuhkannya.
Sementara itu, keterkaitannya dengan isu di UNJ masih perlu dikaji lebih lanjut.
Hingga saat ini, belum ada bukti yang mengindikasikan bahwa ia terlibat dalam dugaan jual beli ijazah atau praktik akademik yang menyimpang.
Dalam konteks ini, penting bagi aparat penegak hukum untuk bersikap objektif dan tidak terjebak dalam upaya kriminalisasi yang berpotensi merusak reputasi akademik seseorang tanpa dasar yang kuat. ***