Lima Pasal Kontroversi dan Multitafsir RUU Perampasan Aset

Reporter Burung Hantu
Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, SH, MH, Guru Besar Universitas Negeri Makassar, Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).

MEDIAPESAN – Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang tengah digodok pemerintah dan DPR disebut sebagai senjata ampuh negara untuk memberantas korupsi dan kejahatan luar biasa.

Namun, di balik tujuan mulianya, draf beleid ini menyimpan sejumlah pasal yang kontroversial.

Bila tidak diperjelas, pasal-pasal tersebut bisa berubah menjadi alat represi yang justru menakutkan rakyat, alih-alih melindungi.

- Iklan Google -
Mediapesan.com terdaftar di LPSE dan E-Katalog Klik gambar untuk melihat Katalog kami.

Sedikitnya ada lima pasal yang menimbulkan multitafsir.

Jika dibiarkan, legitimasi hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap negara bisa terkikis.

Pasal 2: Perampasan tanpa menunggu putusan pidana

Pasal ini mendalilkan negara dapat merampas aset tanpa harus menunggu putusan pidana.

Jasa Pembuatan Website Berita
Jasa Website Jogja

Masalahnya, ketentuan ini berpotensi menggeser asas praduga tak bersalah.

Pedagang atau pengusaha dengan pembukuan lemah bisa menjadi sasaran, karena kekayaannya dianggap tidak sah meski belum terbukti melakukan tindak pidana.

Pasal 3: Aset dirampas meski proses pidana berjalan

Pasal ini menyebutkan aset bisa dirampas sementara proses pidana terhadap pemiliknya tetap berlangsung.

- Iklan Google -

Ketentuan ini menimbulkan dualisme antara hukum perdata dan pidana.

Masyarakat bisa merasa dihukum dua kali: aset dirampas, sementara dirinya tetap diadili.

Pasal 5 ayat (2) huruf a: Frasa “tidak seimbang”

Rumusan pasal ini memungkinkan perampasan bila jumlah harta dinilai “tidak seimbang” dengan penghasilan sah.

Baca Juga:  Pemuda Katolik Komcab Kota Makassar Harapkan Kunker Presiden Jokowi di Sulsel Murni Tugas Negara

Persoalannya, frasa tersebut sangat subjektif.

Seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen bisa dicurigai, karena asetnya dianggap lebih besar dari penghasilan hariannya.

Pasal 6 ayat (1): Ambang batas Rp.100 juta

Aset bernilai minimal Rp.100 juta dapat dirampas.

Ambang batas ini dinilai rawan salah sasaran.

Buruh yang berhasil membeli rumah sederhana senilai Rp 150 juta bisa terseret, sementara penjahat bisa menyiasati dengan memecah aset di bawah Rp 100 juta.

Pasal 7 ayat (1): Aset tetap dirampas meski tersangka bebas atau meninggal

Pasal ini menyebutkan perampasan tetap bisa dilakukan meskipun tersangka kabur, meninggal, atau dibebaskan.

Ketentuan ini berisiko merugikan ahli waris maupun pihak ketiga yang beritikad baik.

Anak-anak bisa kehilangan rumah warisan hanya karena orang tuanya pernah dituduh melakukan tindak pidana.

 

Beban pembuktian dibalikkan

Tak kalah krusial, draf RUU ini juga mengatur mekanisme pembuktian terbalik.

Setelah aset disita, pihak yang keberatan wajib membuktikan keabsahan hartanya.

Ini membalik asas hukum yang selama ini berlaku: siapa yang menuduh, dia yang membuktikan.

Akibatnya, rakyat kecil yang awam hukum bisa kehilangan haknya hanya karena tak mampu menunjukkan dokumen formal.

Usulan perbaikan

RUU ini perlu memperjelas definisi dan batasan yang masih kabur.

Misalnya, frasa “tidak seimbang” seharusnya diukur dengan standar objektif: laporan pajak, data profesi, atau indikator ekonomi yang jelas.

Perlindungan terhadap ahli waris dan pihak ketiga yang beritikad baik juga mutlak ditegaskan.

Beban pembuktian tetap harus dipegang aparat penegak hukum, bukan rakyat.

Putusan pengadilan independen wajib menjadi syarat mutlak setiap perampasan aset.

Baca Juga:  Memanggil Keadilan: Jurnalis Gaza Berteriak untuk Mengakhiri Pembunuhan Terhadap Awak Media

Tanpa itu, hukum bisa berubah menjadi alat kriminalisasi.

Proses perampasan juga harus transparan, terbuka bagi pengawasan publik dan media.

Negara perlu menyediakan bantuan hukum gratis bagi masyarakat kecil yang terdampak.

Sosialisasi masif dan literasi hukum pun penting, agar rakyat memahami hak-haknya dan tak mudah ditakut-takuti.

Sebab, bila tak hati-hati, RUU ini ibarat pedang bermata dua.

Rakyat kecil bisa dikriminalisasi karena lemah administrasi, sementara kaum berduit dengan pengacara dan dokumen lengkap tetap bisa melindungi asetnya. (*)

Bagikan Berita Ini
Tinggalkan Ulasan

Tinggalkan Ulasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *