Perjalanan Ustadz Jazir di Jogokariyan: Dari Sapu ke Jantung Komunitas

Reporter Burung Hantu
Masjid Jogokariyan.

Oleh: Muhammad Nusran, (Marbot Masjid Kampus Indonesia-PP AMKI, Pengurus MES Sulsel)

 

Hari ini, Senin 22 Desember 2025, langit Jogokariyan melayang dengan keheningan yang mendalam.

- Iklan Google -
Mediapesan.com terdaftar di LPSE dan E-Katalog Klik gambar untuk melihat Katalog kami.

Dunia kehilangan Ustadz Jazir—lelaki yang tiba di kampung ini bertahun-tahun yang lalu dengan hanya sapu lidi dan keyakinan yang tak tergoyahkan dan pergi sebagai penjaga cinta yang membangun peradaban dari bawah ke atas.

Perjalanan beliau di Jogokariyan bukan sekadar kisah membangun masjid, melainkan kisah menyatukan hati, memberdayakan warga, dan mengubah tempat yang dulunya sepi menjadi pusat kehidupan yang penuh semangat.

Ketika pertama kali melangkah ke Jogokariyan, masjid di sana hanyalah bangunan biasa dengan jamaah yang tak seberapa. Beliau tidak langsung berdiri di mimbar seperti yang diharapkan banyak orang.

Jasa Pembuatan Website Berita
Jasa Website Jogja

Sebaliknya, beliau memulai dengan mengetuk pintu satu per satu rumah warga—menyapa, mendengar cerita, mencatat nama dan kebutuhan mereka.

“Masjid tak lagi menunggu manusia tapi masjid mendatangi manusia,” demikian prinsip yang beliau junjung tinggi sejak awal berkiprah.

Setiap temuannya dengan warga bukan hanya untuk mengumpulkan infaq, melainkan untuk membangun hubungan kepercayaan yang tulus, sehingga masjid menjadi rumah bagi semua, baik yang kaya maupun yang miskin.

- Iklan Google -

Dari hubungan itu, beliau membangun langkah-langkah besar untuk mengubah kampung. Beliau mengajarkan prinsip yang sederhana tapi mengguncang: “Saldo masjid harus nol, karena rezeki Allah tidak pernah nol.”

Setiap rupiah infaq yang masuk segera dialirkan menjadi manfaat—membeli makanan bagi yang lapar, membangun ruang bermain bagi anak-anak, memberikan beasiswa bagi pemuda yang ingin belajar.

Baca Juga:  Menjelang Puncak Arus Mudik, Pengamanan di Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar Diperketat

Tak lama kemudian, Jogokariyan mulai berubah: anak-anak yang dulunya bermain di jalanan menemukan tempat yang aman, pemuda yang tersesat menemukan arah hidup, orang miskin menemukan martabat yang hilang, dan orang kaya menemukan makna baru dalam memberikan.

Masjid Jogokariyan yang dulunya sepi pun menjadi pusat kehidupan komunitas. Beliau mendirikan kelas belajar untuk anak-anak, lokakarya keterampilan untuk pemuda, dan kelompok gotong royong untuk merawat lingkungan.

“Masjid kecil di sudut kota Yogyakarta itu berubah menjadi cermin peradaban,” seperti yang dicatat dalam riwayatnya.

Orang-orang mulai datang dari jauh—dari kota lain, bahkan dari luar negeri—untuk belajar cara beliau membangun komunitas yang harmonis dan mandiri. Semua itu beliau lakukan tanpa mencari pujian; beliau tetap lebih senang dipanggil “marbot” daripada “tokoh”.

Tahun-tahun berlalu, tapi semangat beliau tidak pernah memudar. Meskipun tubuhnya semakin lemah, beliau masih sering terlihat di masjid—menyapa jamaah, membimbing pemuda, atau bahkan menyapu lantai ketika ada waktu luang.

Beliau selalu mengingatkan bahwa “masjid bukan hanya tempat singgah shalat, tetapi tempat manusia pulang dengan luka, dengan lapar, dengan harapan.”

Setiap hari, beliau menunjukkan bahwa kebaikan tidak perlu besar-besaran; yang penting adalah dilakukan dengan hati yang tulus.

Hari ini, Senin 22 Desember 2025, tugas kehambaan beliau selesai. Ketika sapu yang setia menemani beliau bertahun-tahun akhirnya diletakkan, masjid dan seluruh kampung Jogokariyan menangis—bukan karena kehilangan pengurus, tapi “karena kehilangan penjaga cinta”.

Warga berkumpul di masjid, berbagi cerita tentang beliau, dan berdoa agar jalan beliau di alam kubur penuh dengan rahmat Allah.

Ada doa yang terucap tulus: “اللّٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ” (Ya Allah, ampunilah beliau, rahmatilah beliau, selamatkan beliau, maafkan beliau, muliakan tempat kembalinya, dan luaskan pintu masuknya).

Baca Juga:  Difabel Ini Dituding Sebagai Penambang Ilegal, Warga Bulukumba Prihatin Proses Hukumnya: Kuasa Hukumnya Siap Kawal

Meskipun beliau telah pergi, jejak Ustadz Jazir akan tetap hidup selamanya. Di lantai masjid yang selalu bersih, tawa anak-anak yang bermain di ruang khusus, semangat pemuda yang berjuang meraih mimpi dan pada ribuan masjid di seluruh negeri yang kini berani bermimpi membangun komunitas seperti Jogokariyan.

“Setiap kali masjid hidup, setiap kali sajadah diramaikan, setiap kali infaq mengalir menjadi solusi, di sanalah namanya disebut bukan oleh manusia, tetapi oleh amal yang terus mengalir dan berjalan menjadi amal jariyah yang tiada putus.”

Hari ini, beliau pulang ke sisi Allah, tapi warisannya akan terus menyinari jalan kita ke depan.

Wallahu muwaffiq, Senin (22/12/2025).

Bagikan Berita Ini
Tinggalkan Ulasan

Tinggalkan Ulasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *