Mediapesan | Pangkep – Di tengah hamparan sawah dan udara sejuk kaki Gunung Bulusaraung, Desa Wisata Tompobulu kembali jadi laboratorium hidup bagi pengembangan pariwisata berbasis masyarakat.
Pada Sabtu (11/10/2025), mahasiswa semester VII Program Studi Pengelolaan Perhotelan Politeknik Pariwisata Makassar melaksanakan kegiatan Aplikasi Manajemen (APM) dalam bentuk Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) bertajuk “Penguatan Kapasitas Pelaku Pariwisata melalui Pengelolaan Akomodasi dan Inovasi Kuliner.”
Kegiatan ini bukan sekadar pelatihan teknis, tapi ruang dialog antara pengetahuan akademik dan pengalaman lokal.
Pesertanya beragam: pelaku UMKM, anggota Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), pengelola ekowisata, perangkat desa, hingga perwakilan Badan Pengelola Maros Pangkep UNESCO Global Geopark.
Dari Alam hingga Dapur: Potensi yang Menunggu Dikelola
Sekretaris Desa Tompobulu, Mursalim, S.Pd., dalam sambutannya menggambarkan desanya sebagai “lukisan alam yang hidup”.
Terletak di kaki Gunung Bulusaraung, Tompobulu punya air terjun, gua vertikal dan horizontal, hingga aliran sungai yang mengalun di antara persawahan.
Namun daya tariknya bukan hanya lanskap. Kuliner lokal seperti gula aren, madu hutan, lemang, so’ri bulo, beppa letto’, hingga kue kambing menjadi bukti kuatnya warisan rasa yang bisa jadi magnet wisata.
Kami sudah punya homestay, balai pertemuan, tempat makan, musala, hingga kamar mandi umum. Sekarang tantangannya adalah pengelolaan dan inovasi, ujarnya.
Desa Tompobulu memang tak asing di peta wisata nasional.
Tahun 2023 lalu, desa ini masuk daftar 75 Desa Wisata Terbaik versi Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
- Iklan Google -
Kolaborasi Akademik dan Komunitas
Kegiatan dibuka secara resmi oleh Buntu Marannu Eppang, A.Md., SS., Modt., Ph.D., CHE., Kepala Bagian AAKU yang mewakili Direktur Politeknik Pariwisata Makassar.
Ia menekankan pentingnya praktik lapangan sebagai jembatan antara teori dan realitas.
Mahasiswa tidak hanya belajar manajemen hotel di ruang kuliah, tapi juga berinteraksi langsung dengan masyarakat yang menjadi tulang punggung sektor pariwisata, ujarnya.
Para mahasiswa yang tergabung dalam program ini sebagian besar berasal dari Program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) — profesional aktif di industri pariwisata, mulai dari General Manager hotel hingga ASN Dinas Pariwisata.

Menurut Buntu, transfer pengalaman praktis dari industri ke masyarakat desa adalah bentuk nyata dari pendidikan vokasi yang membumi.
Geopark dan Jejaring Pemberdayaan
Apresiasi datang dari Megawati Putri Rajab, anggota Bidang Pemberdayaan Masyarakat Badan Pengelola Maros Pangkep UNESCO Global Geopark.
Ia menilai kegiatan ini sejalan dengan misi utama geopark: mengelola warisan geologi sekaligus memberdayakan masyarakat sekitar.
Pemberdayaan masyarakat adalah indikator penting dalam revalidasi status UNESCO Global Geopark. Kegiatan seperti ini menjadi bukti nyata keterlibatan warga dalam menjaga dan mengelola kawasan, tuturnya.
Ia menekankan pentingnya sinergi lintas pihak.
Semangat kolaboratif ini penting untuk menjaga status geopark di mata dunia, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, tambahnya.
Dari Brownies hingga Kopi Dingin
Selain diskusi, kegiatan juga menghadirkan sesi pelatihan kuliner yang tak kalah menarik.
Tri Elfa Damayanti, Pastry Chef Hotel Aston Makassar, memandu peserta membuat Mini Brownies Cheese Melt, sementara A. Rezkitni Aulia, barista profesional dari Kaffeine Makassar, memperkenalkan inovasi Cold White Coffee.
Warga terlihat antusias — bukan hanya mencatat resep, tetapi juga mencoba langsung proses pembuatan.
Kami ingin kuliner desa ini naik kelas, tapi tetap mempertahankan cita rasa lokal, ujar salah satu peserta Pokdarwis.
Membangun dari Akar
Program PKM Politeknik Pariwisata Makassar ini menegaskan bahwa membangun pariwisata tak cukup dengan destinasi indah.
Diperlukan pula SDM terampil, jejaring antar pemangku kepentingan, dan keberanian untuk berinovasi tanpa meninggalkan akar budaya.
Di Tompobulu, kerja sama antara akademisi, profesional, dan masyarakat menjadi contoh kecil bagaimana desa wisata bisa menjadi model pembangunan berkelanjutan.
Program PKM Politeknik Pariwisata Makassar menegaskan satu hal penting: pariwisata bukan semata soal pemandangan indah, melainkan tentang manusia yang menjaga dan mengelolanya.
Keberhasilan sebuah destinasi tidak ditentukan oleh lanskapnya, tetapi oleh kemampuan masyarakatnya untuk beradaptasi, berinovasi, dan berkolaborasi.
Di Desa Wisata Tompobulu, konsep itu diterapkan secara konkret.
Mahasiswa, akademisi, profesional industri, dan warga desa duduk bersama, bertukar pengalaman dan pengetahuan.
Mereka membangun pemahaman baru bahwa pengembangan wisata yang berkelanjutan tidak bisa datang dari luar, melainkan harus tumbuh dari akar budaya dan nilai lokal yang sudah hidup di tengah masyarakat.
Model kolaborasi ini menjadi cerminan pendekatan bottom-up yang kini banyak diperjuangkan dalam pembangunan pariwisata nasional.
Pemerintah pusat maupun daerah mendorong agar desa-desa wisata menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru — bukan dengan menggusur tradisi, tetapi dengan menjadikannya fondasi utama.
Program semacam PKM ini membuka ruang bagi masyarakat untuk tidak sekadar menjadi objek wisata, tetapi subjek pembangunan.
Mereka tidak hanya menerima pelatihan teknis, tetapi juga belajar mengelola pengalaman wisata yang autentik dan berdaya saing global.
Dari pelatihan kuliner hingga pengelolaan homestay, setiap langkah kecil di Tompobulu menunjukkan bagaimana ilmu akademik dapat berpadu dengan kearifan lokal.
Hasilnya bukan hanya peningkatan kapasitas individu, tetapi juga penguatan identitas komunitas.
Ketika SDM lokal tumbuh menjadi pelaku utama, jejaring antar pemangku kepentingan terbentuk, dan inovasi berjalan tanpa menanggalkan akar budaya, maka pariwisata tidak lagi menjadi proyek sementara.
Ia menjadi gerakan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan – dari alam, oleh warga, untuk masa depan.
Sejalan dengan itu, upaya di Tompobulu juga merefleksikan semangat program Desa Wisata Berkelanjutan yang digagas Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta agenda UNESCO Global Geopark Maros-Pangkep.
Keduanya menekankan pentingnya kolaborasi antara pendidikan vokasi, pemerintah daerah, dan masyarakat lokal dalam menjaga keseimbangan antara konservasi, edukasi, dan ekonomi.
Tompobulu menjadi contoh nyata bahwa pembangunan pariwisata bisa dimulai dari hal sederhana — pelatihan, kemitraan, dan semangat belajar — yang jika dirawat dengan konsisten, dapat menumbuhkan ekosistem wisata yang mandiri dan berakar kuat di bumi sendiri.